PENDAHULUAN
Sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama bahwa Aswaja bukanlah sebuah paham (mazhab) keagamaan,
melainkan ASWAJA adalah sebuah manhaj Al fikr (metode berpikir), tapi tidak
sedikit diantara kita khususnya kaum nahdhiyyin (kader NU) yang
menganggap bahwa Aswaja adalah sebuah mazhab dan idiologi yang Qot’I, sehingga
tidak heran timbul sebuah pertanyaan yang sedikit nyeleneh tetapi logis
“Mengapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat?” wal hasil
berdampak paradigma jumud (mandeg), kaku dan eksklusif. Kalau kita pahami
Aswaja adalah sebuah mazhab bagaimana mungkin dalam satu mazhab kok mengandng
beberapa mazhab dan bagaimana mungkin dalam satu ediologi ada doktrin
yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Sebelum pembahasan
lebih lanjut mengenai gejolak aswaja di era globlisasi penulis akan sedikit
mengulas latar cultural dan politik kelahiran aswaja dan menekankan bahwa
aswaja adalah sebuah manhaj Al fikr bukanlah sebuah paham mazhab. Karena dengan
mengetahui dua factor pembahasan ini kita akan lebih jeli menyikapi
perkembangan serta perubahan yang ada pada tubuh aswaja itu sendiri, baik itu
di wilayah ubudiyah, teologi (akidah) dan di wilayah tasawufnya.
PEMBAHASAN
A.
Latar Kultural Dan Politik Kelahiran Aswaja
Selama ini yang kita
ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah
mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek
peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti
imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari
Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan
sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat
eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan
bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja
hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para
sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas
tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski
demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun
merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik
yang melingkupinya.[1]
Ahlusunnah tidak bisa
terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk
pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang
terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli.
Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir
watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka
merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah
kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan
kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat
menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau
iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang
dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan
agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan,
persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar
watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan
bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang
perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang
tepat mengganti Rosulullah (peristiwa bani saqifah ).[2]
Perselisihan internal
dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca
meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat
beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan
aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi
politik dan kekuasaan.[3]
Unsur-unsur perpecahan
dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa
meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman
Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang
dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau
menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini
ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya
Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang
menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina
Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak
menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi
firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah
Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya
Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa
terlepas dari latar belakang politik.[4]
B.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar
cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada
di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini,
sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif
atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i.
Salah satu karakter
Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena
itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis,
apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan
bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus
tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena
itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih
wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan
kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni
pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua
sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya,
ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.[5]
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya
bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di
dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka
luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan
inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya
manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman.
Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara
kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama
ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan
praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya,
yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun
(keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang
mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri
ataupun kanan.
C.
Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
1.
At-Tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak
ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT dalam
surah al-Baqarah: 143
Artinya, “Dan
demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
2.
At-Tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam
penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional)
dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT
dalam surah al-Hadid: 25
Artinya “Sunguh kami
telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan
telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
3.
Al-I'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman dalam surah. al-Maidah: 8
Artinya “Wahai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak
membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil.
Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak
adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Selain ketiga prinsip
ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh
atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang
memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
Firman Allah SWT dalam surah Thaha: 44
Artinya “Maka
berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ayat ini berbicara
tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata
dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M)
ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS
dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas
kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati,
lebih dapat diterima dan lebih berfaedah[6]".
Dalam tataran praktis,
sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat
terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut[7].
1.
Akidah
a.
Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b.
Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c.
Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi
kafir.
2.
Syari'ah aBerpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan
menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.bAkal baru
dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).cDapat
menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang
multi-interpretatif (zhanni).
3.
Tashawwuf/Akhlaka
a.
Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam,
selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum Islam.
b.
Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c.
Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani
(antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara
sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4.
Pergaulan antar golongan
a.
Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur
pengikatnya masing-masing.
b.
Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c.
Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d.
Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata emusuhi agama Islam.
5.
Kehidupan bernegara
a.
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena
merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b.
Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat,
selamatidak bertentangan dengan ajaran agama.
c.
Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.d. Kalau
terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang
baik.
6.
Kebudayaan
a.
Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur
dengan norma dan hukum agama.
b.
Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari
manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c.
Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih
relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7.
Dakwah
a.
Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak
masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b.
Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c.
Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
D.
ASWAJA SEBAGAI PARADIGMA
Doktrin Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) saat ini berhadapan dengan perubahan masyarakat yang
sangat cepat. Rumusan doktrin yang selama ini menjadi acuan bagi mayoritas umat
Islam dalam beragama, terutama kaum Nahdliyin tidak mampu lagi mengakomodir
perubahan yang terjadi.
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta informasi di era yang global ini tidak mampu
lagi di baca dalam kerangka rumusan doktrin lama, keenderungan pemahaman agama
secara tradisional agaknya sudah kurang mampu berbicara. Pemahaman secara
tekstual tidak lagi memuaskan. Maka yang diperlukan adalah pemahaman yang
bersifat kontekstual.
Reinterprestasi dokrtin
Aswaja sudah seharusnya dilakukan. Salah satu pemahaman ulang tersebut adalah
dengan merujuk kembali sejarah awal reformasi atau pembentukan doktrin ini.
Dengan merujuk ke sejarah awal, yang telah kita bahas diatas akan terlihat
situasi kreatif masyarakat dimana perbincangan secara cerdas. Tampak sekali
bahwa doktrin Aswaja sebenarnya berwatak plural, tidak tunggal. Bahkan sejarah
lahirnya paham akidah Aswaja sebenarnya dilahirkan oleh tiga tokoh kenamaan
yaitu, Imam al-Asy’ari di Barsah, Imam al-Maturidi di Samarkand dan) Imam
al-Tahawi di Mesir.
Proses terbentuknya
paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah membutuhkan jangka waktu yang panjang.
Pengertian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah sebagai sebuah aliran pemikiran (school
of thought) tidak serta merta dan terbentuk menjadi baku. Sejarah menunjukan
bahwa pemikiran keagamaan Sunni dalam bidang teologi, hukum, Tasawuf dan
politik tidak terbentuk dalam satu masa melainkan dalam waktu yang
berbeda-beda. Masing-masing bidang tersebut di formulasikan oleh para ulama
yang hidup pada masa yang berbeda pula. Dengan demikian Ahl al-Sunnah wal
al-Jama’ah adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang
dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada
zaman tertentu.
Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasi keagamaan yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham Ahl
al-Sunnah wal al-Jama’ah, memahami Aswaja sebagai akumulasi doktrin keagamaan
yang bertumpu pada rumusan al-usus al-thalathah fi al-I’tiqad Ahlussunah Wal
Jama’ah di bidang hukum(fiqh) )Tasawuf dan tauhid.[8]
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
Ø
Dalam akidah, mengikuti slah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur al-Maturidi.
Ø
Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat : Abu
Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad al-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
Ø
Dan dalam ber-tashawwuf mengikuti salah satu dua Imam: Abu Qasim al-Junaidi
al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
Itulah yang ditulis
oleh Hadlratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi dan setiap
Muktamar NU disampaikan oleh Rais Aam sebagai sambutan pokok.
Kalau kita mempelajari Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah dengan sebenar-benarnya, batasan seprti itu, tampak begitu simple dan sederhana. Sebab, pengertian tersebut merupakan definisi yang sangat ekslusif.
Kalau kita mempelajari Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah dengan sebenar-benarnya, batasan seprti itu, tampak begitu simple dan sederhana. Sebab, pengertian tersebut merupakan definisi yang sangat ekslusif.
Untuk mengkaji secara
mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahl al-Sunnah wal
al-Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab. Aswaja hanyalah Manhaj
a-fiqr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para Sahabat dan para
muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan
relatif netral dalam mensikapisituasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan
berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhaj al-fiqr sekalipun tapi
merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik
yang melingkupinya.
Formulasi baru Aswaja,
mengimplikasikan format atau corak yang sama sekali berbeda dengan rumusan
definitif Aswaja yang dipahami selama ini dalam konteks “ber-fiqh”, pergeseran
pemahaman akan terlihat cukup tajam diantara generasi yang meletakan fiqih
sebagai “kebenaran ortodoksi” (ulama yang mempertahankan teks) , dan generasi
yang meletakan fiqih sebagai paradigma “interprestasi sosial”, oleh karena itu,
apabila dalam satu generasi yang selalu menundukan realitas pada kebenaran
fiqih, dan generasi berikutnya akan sangat mungkin menggunakan fiqih sebagai
counter discourse dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.[9]
Pandangan fiqih sebagai
“interprestasi sosial” dengan paradigma fiqh-nya terdapat lima ciri yang
menonjol, yaitu:
1.
Selalu diupayakan interprestasi ulang dalam mengkaji teks teks fiqih untuk
mencari konteks-nya yang baru.
2.
Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara ekstual (madzhab qauli) menjadi
bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji).
3.
Verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu).
4.
Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
5.
Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima ciri
paradigma ber-fiqh tersebut merupakan paradigma yang fundamentalis dan strategis,
seperti ditegaskan oleh Abdurrahman Wahid (GusDur) bahwa pentingnya madzhab
manhaji inilah-jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam
setting tranformasi sosial. Ekonomi politik maupun budaya menjadi terbuka
lebar. Di satu sisi generasi yang memahami fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi”
dengan devinisi madzhab qauli sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebagaian
generasi tersebut masih mempertahankan rumusan tersebut. Rumusa Aswaja yang
demikian ini, oleh sebagian tokoh NU seperti K.H Abdurrahman Wahid dan Said
Agil Siradj mulai mempertanyakan relevansinya dan vitalitasnya. Sebab dalam
dataran empirik, pemahaman Aswaja seperti diatas disamping membatasi, juga
membelenggu kreatifitas berpikir. Dalam pandangan K.H Abdurrahman Wahid, formulasi
pemahaman Aswaja tersebut perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih mendasar
melalui dua kerja utama : Pertama, dengan mengadakan pengkajian aspek
kesejarahan pertumbuhan Aswaja, sehingga pemahaman terhadapnya tidak tercerabut
dari akar historisnya. Kedua, perlunya perumusan dasar-dasar umum kehidupan
masyarakat di kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah dalam berbagai kehidupan pada
kerangka operasionalnya.
E.
EKSISTENSI ASWAJA DI TENGAH ERA GLOBALISASI
Sudah menjadi faka
sejarah bahwa agama Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia
yang dapat diketahui dari kekayaan aneka ragam seni, budaya dan pemikiran dari
para pemikir muslim. Wacana intelektual itu terus berjalan untuk merespons atau
reaksi terhadap perubahan zaman engan segala psang surutnya. Wacana intelektual
Islam yang kadang-kadang muncul secara kreatif ketika menghadapi tantangan yang
cukup rumit teapi juga pernah mengalami masa yang agak kering. Para sejarawan
telah berusaha mencari latar belakang dan sebab pasang surutnya kreatifitas
intelektual itu dengan menfokuskan pada satu sisi sebagai penyebab utama. Tapi,
hasil analisis mereka menyatakan, tidak ada satu-satunya sebab yang harus
disalahkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan tersebut. Kiranya
berbagai faktor yang saling berkaitan.
Dalam masyarakat Islam,
Ahlussunah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan
organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal sebagai gerakan yang secara
konstitusional ingin membela dan mempertahankan Aswaja adalah Nahdlatul Ulama.
Adapun Muhammadiyah secara implisit mengakui idiologi “Áswaja”. Ini dapat
diketahui dari salah satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang “Iman” merupakan akidah Ahlul Haq Wassunah. Gerakan
puritanis. Persatuan Islam (Persis), mengakui lebih berhak menyandang sebutan
Ahlussunah Wal Jama’ah dengan alasan tidak bermadzhab. Karena itu, NU menurut
mereka tidak bisa disebut sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah.
Kalangan Persatuan
Tarbiyah (Perti) merumuskan Aswaja tidak jauh berbeda dengan kalangan NU,
dengan rumusan yang lebih ketat, karena cenderung untuk “menyesatkan” kalangan
pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Sedangkan rumusan Aswaja Miftakhul Anwar,
secara ensensial juga tidak berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat
mengakomodir penganut Ibnu Taimiyah dan Wahabi masuk dalam Aswaja. Perbincangan
dan wacana intelektual diatas, menunjukan bahwa betapa Aswaja diyakini oleh
berbagai kelompok, sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat dalam
Islam (al-firqah al-najiyah). Dan Aswaja telah dipahami dengan pengertian yang
beraneka ragam oleh berbagai kelompok dan gerakan Islam.[10]
Terlepas dari berbagai
kelompok yang mengatasnamakan sebagai pengikut Aswaja diatas, dalam sekala yang
lebih besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era modern sekarang
ini telah menanamkan pengaruhnya begitu besar dan luas dalam sisten berpikir
dan prilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah teologi (keyakinan/aqidah)
dan dialektika agama. Membahas eksistensi Aswaja tak lepas dari sosok NU
sebagai kelompok yang membela dan memperjuangkan eksistensi Aswaja dalam
kondisi apapun sebagai kerangka analisis sosial. Dalam kaitannya dengan proses
globalisasi yang secara dominan ditentukan oleh Barat dewasa ini dalah topik
yang baru dan sekaligus merupakan tugas yang berat.
Dewasa ini tampaknya
belum ada literatur-literatur yang tertulis secara serius yang dapat dibuat
sebagai bahan rujukan sebagai titik tolak acuan untuk mengkaji sikap NU dalam
menghadapi isu-isu globalisasi. Istilah globalsiasi akhir-akhir ini sering
dipakai sebgai suatu ciri untuk menandai gerak laju modernitas yang semakin
cepat, radikal dan dahsyat.[11] Duni Barat, yang
memegang kendali supermasi di bidang kemajuan sains dan teknologi, merupakan
pusat yang secara dominan menyebarkan proses globalisasi itu, Giddens mendefinisikan
globalisasi sebagai perkembangan-perkembangan yang cepat di bidang teknologi
komunikasi, transportasi dan informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia
yang paling jauh terpencil sekalipun ke dalam suatu jangkauan yang mudah.
Dengan demikian,
globalisasi telah menyebabkan semakin menyempitnya dunia ini dan semakin
dekatnya jarak antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain.
Dipercanggih dengan kemajuan-kemajuan spektakuler di bidang teknologi informasi
komunikasi, transportasi dan komunikasi, globalisasi telah membuat dunia terasa
semakin mengecil dan menyempit seperti sebuah perkampungan. Akibat globalisasi,
peristiwa-peristiwa yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat didengar dan
diketahui dalam sekejap oleh orang-orang yang menghuni belahan dunia lain. Perihal
globalisasi, selain dari tatanan bahasa, globalisasi juga sebagai konsep
dicetuskannya oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi,
politik-idiologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Sebagai pengertian
ekonomi, globalisasi berarti proses internalisasi produksi, mobilisasi yang
semakin membengkak dari modal dan masyarakat internsional, penggandaan dan
intensifikasi ketergantungan ekonomi, secara lebih konkrit, hal itu berarti
reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi lintas negara industri,
perluasan pasar uang, penjajahan barang-barang konsumsi sempai ke negara-negara
Dunia Ketig dari Dunia Pertama, dan penggusuran penduduk lintas negara secara
besar-besaran. Sedangkan sebagai pengertian pilitik-idiologi, globalisasi
dirumuskan sebagai liberalisasi perdagangan dan investasi, dergulasi,
privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah.
Sebagai pengertian ilmu
pengetahuan, globalisasi tidak hanya dipakainya kaidah kebenaran ilmu yang
bersumber pada empirisme dan cara penalaran konteks masyarakat dan alam
Negara-Negara Maju bagi Negara-Negara Tertinggal tanpa memperhatikan ke-khasan
masyarakat dan alamnya, tetapi juga termasuk usaha-usaha untuk membangun
kebenaran ilmu untuk pemanusiaan manusia termasuk mencari keterangan ilmiah
pengetahuan lokal dan tradisi. Sebagai pengertian teknologi, gobalisasi
berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi, tidak hanya terutama
teknologi komunikasi dan informasi, namun juga teknologi penghancur lingkungan
serta bioteknologi pengancam manusia tanpa kemampuan kendali.[12]
Keduanya telah
meringkas hamparan dunia menjadi tombol keputusan dari balik meja penguasa
ekonomi dan politik adikuasa. Dan pengertian budaya, globalisasi tidak hanya
merupakan proses harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas
keberagaman, hak-hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi.
Proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan duni universal yang
melampaui batasan negara-kebangsaan.
Globalisasi adalah
suatu keniscayaan. Lambat atau cepat proses globalisasi dengan berbagai
tantangannya akan terjadi dalam interaksi kehidupan umat manusia seiring dengan
kemajuan yang canggih di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan
informasi. Proses globalisasi dewasa ini ditandai oleh tingkat kecepatan yang
tinggi di mana pertukaran informasi dan budaya berlangsung dengan mengambil corak,
manifestasi, dan sosok intensitas dengan segala) variasi kompleksitasnya.
John Naisbitt, dalam
Global Paradox-nya mendramatisir pengaruh komputer terhadap pemikiran teologis
itu dengan mengutip ungkapan imaginer dari Randall L. Tobies, mantan wakil ketua
AT&T (industri telkom, komputer dan elektronik yang mashur) sebagai berikut
: “Seorang ahli teologi bertanya kepada super komputer: Apakah Tuhan ada? Super
komputer itu mengatakan , bahwa ia tidak mempunyai kekuatan pemrosesan untuk
mengetahuiNya. Dia minta dihubungkan dengan semua super komputer lain di dunia.
Namun, dia tetap belum memiliki kekuatan yang cukup. Maka dia itu dihubungkan
dengan semua mainframe di dunia dan kemudian dengan komputer mini, dan dengan
semua komputer di mobil, microwave, VCR, digital dan seterusnya. Ahli teologi
tersebut bertanya untuk terakhir kali: Apakah Tuhan ada? Dan super komputer itu
menjawab: sekarang ada[13]!
Dalam contoh lain,
pengaruh bahasa Inggris sekarang sudah menyusupi hampir semua sektor kehidupan,
dan sudah menjadi universal. Di dunia sekarang ini terdapat lebih dari satu
milyar pemakai bahasa Inggris. Enam puluh persen siaran radio di dunia
menggunakan bahasa Inggris. Tujuh puluh persen pos di dunia, alamatnya ditulis
dalam bahasa Inggris. Delapan puluh persen dari semua data dalam 100 juta
komputer menggunakan bahasa Inggris.
Dan sekarang ini
buku-buku referensi keislaman (maraji’al-buhuts al-islamiyah) sudah sangat
banyak ditulis dalam Inggris, mualai dari kitab-kitab (kitab kuning) sampai
studi-studi keislaman kontemporer. Dampaknya antara lain adalah tumbuhnya
kecenderungan di kalangan peminat, peneliti, pengkaji dan pengamat keislaman
lebih suka menggunakan referensi keislaman yang berbahasa Inggris. Disamping
alasan kebahasaan (yang dikuasai), alasan metodologis lebih memuaskan,
dibanding referensi lain yang berbahasa Arab atau Urdu misalnya.
Namun, gejala
globalisasi yang kuat dalam segala sektor itu, diimbangi dengan munculnya
semangat primordial di sisi yang lain. Munculnya gerakan politik etnis di
balkan (Bosnia, Krowasia dan Serbia), seperti menyaingi gerakan gerakan politik
regional Masyarakat Eropa. Cita-cita umat Islam sebagai ummatan wahidah yang
digarap melalui berbagai macam forum dan lembaga, mengalami kesulitan karena
munculnya konflik-konflik primordial (suku, madzhab, partai, tariqah) di
lingkungan komunitas muslim di berbagai negara.[14]
Di sisi lain pengaruh
globalisasi yang menekan dengan begitu deras dari wajah globalisasi
ekonomi-idiologi politik dapat dirumuskan menjadi 12 butir dengan mempergunakan
bahan-bahan yang disediakan oleh Bose, Oommen, Fernandes, Kartika dan Gautama,
van Lidekerke, dalla Costa sebagai berikut:
1.
Adanya beban berat dari perangkap hutang luar negeri. Ketika merdeka, Indoneisa
dan India hampir tidak mempunyai hutang luar negeri, kini setiap orang
menanggung Rp 7 juta dan sedikit lebih kecil dari India.
2.
Terjadinya internalisasi atau migrasi modal dari Dunia Pertama ke negara-negara
pinggiran Duni Ketiga.
3.
Gerakan bebas tenaga kerja dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, termasuk bebas
visa dan fiskal, sebaliknya gerakan tenaga kerja dari Dunia Ketiga ke Dunia
Pertama dibatasi dengan kuota dan syarat apabila benar-benar dibutuhkan disana.
4.
Agen pembaharuan / pembangunan bukan lagi negara tetapi MNCs/TNCs
(Multi-National Corporations atau Trans-National Corporations).
5.
Adanya pertukaran barang dengan tarif rendah datau zero antara Dunia Pertama
dan Dunia Ketiga, berbeda. Dari Dunia Ketiga, yang diekspor adalah
barang-barang konsumsi yang eksotik yang diproduksi dengan tenaga murah dan
nilai tukar rendah. Dari Dunia Pertama adalah barang-barang sarat modal dan
teknologi yang belum tentu dibutuhkan oleh Dunia Ketiga, atau istilah John
Kenneth “barang yang menciptakan keinginan” (created want) atau memenuhi selera
hidup konsumeris, namun dibalut sebagai iklan yang meninabobokan.
6.
Belum tetrbentuknya masyarakat demokratis termsuk masih lemahnya posisi
tawar-menawar dari serikat buruh, tani, nelayan, pekerja profesi, pembantu
rumah tangga, dan sebagainya termasuk majikan dan masih diberikannya upah
dibawah UMR (Upah Minimum Regional) masih juga tidak cukup untuk hidup layak,
perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, pemekerjaan anak-anak, seta
perusakan anak-anak.
7.
Globalisasi perdagangan melebarkan sayap ke mana-mana tetapi cenderung
mendesakkan fragmentasi dan perpecahan politik pada masyarakat tujuan, terutama
yang amat tertinggal secara manajerial, ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan
maksud mereka mudah dikuasai dan dijarah.
8.
Bekerja sama dengan pemerintah otoriter yang kebanyakan korup, terjadilah
monopoli sumberdaya agraria dan alam yang merupakan tumpuan hidup subsistem
ataupun layak masyarakat hukum adat maupun bangsa seluruhnya. Monopoli yang
dilakukan oleh perusahaan besar lokal maupun lintas negara berakibat fatal bagi
masyarakat yang harus tergusur, polusi, dan degradesi lingkungan, serta
pemiskinan, peminggiran masyarakat lokal, termasuk masyarakat hukum dat.
9.
Terjadinya tranformasi teknologi, khususnya yang sudah mulai usang di negara-negara
maju (Amerika Utara, Eropa, Jepang) atau bahkan negara pengantara (Korea
Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura), yang di dumping ke negara-negara
berkembang yang cenderung polutif dan hanya dapat “efisien” karena dioperasikan
oleh buruh yang murah yang kemarin-kemarin dikontrol tentara dan polisi
sehingga tidak mungkin membela nasibnya dengan berorganisasi, juga teknologi
yang berdampak mengurangi kesempatan kerja, kesempatan mengais kehiduan.
Semuanya adalah proses pemiskinan, baik teknologi maupun manusia.
10.
Dengan berdalih program penyesuaian (structural adjusment) dan pengetatan ikat
pinggang (belt tightening), yang tak lain aalah untuk tujuan memampukan negara
membayar kembali hutang luar negeri sekalipun bangkrut ekonominya.
11.
Tiadanya alternatif bagi program ekonomi yang ada, apalagi sudah terlanjur
terjerat hutang luar negeri dan memperangkap Surat Kesanggupan Menjalankan
Program menyebabkan ketidak berdayaan yang tidak berkesudahan, bahkan telah
menggadaikan hidup anak cucu yang belum dilahirkan.
12.
Sebagai akibat dari tekanan globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta
bagian-bagian jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya,
terjadilah reaksi etnisitas atau fundamentalis.
Dari rumusan diatas
bahwa globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak dari
globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, bagaimanapun harus
diwaspadai melainkan disikapi dengan cara) damai/disiasati.[15]
Globalisasi sebagai
salah satu proses historis dan sosiologis sudah pasti membawa
tantangan-tantangan sebagaimana disebut diatas yang tidak mungkin terelakan
oleh setiap kelompok masyarakat, termasuk umat Islam. Akbar S. Ahmaed dan
Hastings Donnan mencatat, “Proses-proses globalisasi telah menghantam secara
keras sendi-sendi kebudayaan tradisional, dan proses-proses tadi telah
menimbulkan isu-isu di kalangan kaum Muslimin. Isu-isu itu tidal lagi diabaikan
begitu saja oleh mereka. Orang-orang Islam sekarang ini dipaksa untuk
menghadapi isu-isu yang dirumuskan sebagai respons terhadap isu-isu tadi.
Masalah-masalah yang pada masa lalu hanya ditanggapi baik oleh beberapa orang
yang mempunyai informasi yang baik, sekarang masalah-masalah itu diperdebatkan
oleh banyak orang dalam masyarakat pada setiap tingkat organisasi sosial”.
Sebagaimana dikutip
diatas, Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan mengatakan bahwa proses globalisasi
telah menerpa dan menghantam sendi-sendi kebudayaan tradisional. Dengan kata
lain , ini berarti bahwa proses globalisasi telah menggoyang bahkan meruntuhkan
akar-akar budaya tradisional dalam kehidupan kelompok-kelompok Muslim di dunia.
NU sebagai bagaian
integral dari komunitas Muslim di Indonesia secara berkesinambungan tetap
mempertahankan dan melestarikan sendi-sendi bangunan tradisi dan akar-akar
budaya tradisionalnya, walaupun tidak harus mengisolasi dan menutup diri untuk
menerima hal-hal yang positif dari budaya Barat atau budaya mencanegara
lainnya.
Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Prinsip dan strategi
kebudayaan yang dianut diatas mengandung implikasi bahwa terhadap hasil-hasil
budaya Barat yang positif seperti sains dan teknologi, NU dan seluruh jajaran
jama’ah dan warganya mengapresiasi, mempelajari, menerima dan
mengaplikasikannya. Penerimaan NU terhadap hasil-hasil budaya Barat yang
positif adalah perlu dan merupakan keniscayaan dalam rangka untuk memodernisasi
cara kerja NU.
Menghadapi tantangan
globalisasi dewasa ini , tak ada pilihan lain kecuali menjadikan dirinya
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang “ modern” tanpa harus kehilangan
nilai-nilai dasar tradisionalnya, secara kreatif meramu tradisi dan modernisasi
serta mengharmonikan keduanya dalam satu konfigurasi bangunan yang selaras dan
ideal sehingga tidak hanya menampakkan sisi tradisionalismenya yang terkesan
selama ini.
Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut :
Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut :
1.
Manusia modern siap sedia untuk pengalaman baru dan terbuka untuk pembaharuan
dan perubahan (innovation and change). Dalam hal ini ia membedakan dirinya
dengan manusia tradisional.
2.
Manusia modern mampu membentuk pendapat tentang jumlah besar masalah dan isu
yang timbul, tidak hanya dari segi luarnya saja.
3.
Manusia modern dalam orientasinya terhadap berbagai pendapat yang ada bersikap
lebih demokratis. Ini berarti bahwa di lebih sedar tentang aneka ragam sikap
dan pendapat di sekitar dirinya. Dia tidak menutup dirinya dalam kepercayaan
bahwa setiap orang berpikir serupa dengan dia. Dia tidak serta merta menerima
gagasan-gagasan atasannya dalam hirarkhi kekuasaan. Demikian juga dia tidak
menolak begitu saja pendapat orang yang dedudukannya berada di bawahnya.
4.
Manusia modern berorientasi ke masa sekarang dan kedepan, dan bukan kemasa
lampau. Orientasi ini membawa konsekwensi kepada tanggapannya tentang waktu,
dan lebih teratur dalam mengurus persoalan-persoalannya.
5.
Manusia modern berorientasi kepada dan terlibat dalam perencanaan (planning)
serta pengorganisasian dan ia percaya padannya sebagai suatu cara untuk
mengatur kehidupannya.
6.
Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar sampai pada tingkat yang
jauh untuk menguasai sekelilingnya, guna memajukan tujuan dan sasarannya dan
bukan sebaliknya, yakni dikuasai seluruhnya oleh lingkungannya itu.
7.
Manusia modern mempunyai kepercayaan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan
bahwa orang lain dan lembaga-lembaga di sekitarnya dapat diandalkan guna
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Ia tidak percaya bahwa segala sesuatu
ditentukan oleh takdir atau oleh ulah tabiat khusus dan ciri-ciri manusia. Ia
percaya pada dunia yang bertimbang ras, berdasarkan hukum, dibawah kontrol
manusia.
8.
Manusia modern mempunyai kesadaran terhadap martabat orang lain dan cenderung
menunjukan respek terhadap mereka.
9.
Manusia modern percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
10.
Manusia modern percaya pada keadilan yang terbagi (distributive justice).
Artinya, ia percaya bahwa ganjaran-ganjaran harus sesuai dengan sumbangannya
(kontribusi) dan tidak berdasarkan pada ulah atau milik-milik istimewa orang
yang tidak ada hubungannya dengan sumbangan itu.
Sifat-sifat orang
modern seperti diungkap oleh Prof. Inkeles di atas diangkat dari pengamatan
terhadap paradigma kehidupan Barat yang berpandangan hidup sekuler (hidup tanpa
agama) dan antroposentris. Kendatipun demikian, sifat-sifat tadi dapat
direkomendasikan untuk ditumbuhkan dalam diri pribadi orang-orang Islam pada
umumnya, dan pribadi nahdliyin pada khsusnya dengan catatan bahwa penumbuhan
sifat-sifat tersebut didasari oleh nilai-nilai dan motivasi Islam sehingga
perilaku dan tujuan hidup yang hendak dicapai tetap bertumpu pada pencarian dan
perolehan) keridlaan Allah SWT.[16]
IMPLIKASI HASIL
NILAI-NILAI PENDIDIKAN
Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah, paham yang banyak menyita perhatian dan dianut oleh komunitas NU dapat
dijelaskan sebagai berikut: Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan kepada (1)
Al-Qur’anul Karim, (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad
SAW sebagaimana telah dilakukna bersama-sama shabatnya, (3) Sunnah
Khulafaurasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib.
Pada awalnya, Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran teologi yang dikembangkan
oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Madzhab kalam ini merupakan jalan tengah
antara rasionalisme Mu’tazilah dan amtropomorpisme Jabariyah. Ia mempelopori
pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan rasional dan tekstual. Paham Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut NU, dibidang fiqih menganut madzhab empat:
Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Adapun dalam bidang kalam menganut madzhab
Asy’ariyah dan Maturidiyah-Asy’ariah artinya penganut pemikiran al-Asy’ari
(sebagai analogi: Webwrian artinya penganut pemikiran Max Weber). Sedang dalam
tasawuf madzhab Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali.
NU berpegang pada
madzhab empat, berarti bahwa produk hukum Islam (fiqih) dari empat mujtahid,
Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali-harus dipegang teguh. Dalam kenyataanya NU
lebih condong pada pendapat Syafi’I , sehingga wajar NU sering di “cap” sebagai
pemegang penganut fanatik madzhab Syafi’i . dengan konsep madzhab empat ini,
secara historis NU berharap memiliki keleluasaan menerapkan kebijakan
jam’iyahnya untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul, sehingga tidak kaku
dengan berbagai alternatif dari madzhab yang ada, meskipun tradisi NU lebih
banyak berkiblat pada madzhab Syafi’i . ternyata dalam lingkungan madzhab Syafi’i
sendiri masih dimungkinkan munculnya alternatif pemecahan karena tersedia
beberapa pendapat yang berbeda.
Dasar pemikiran NU
untuk tetap berpegang pada salah satu dari empat madzhab yaitu bahwa pokok atau
dasar semua hukum Islam ialah Qur’an. Karena Al-Qur’an itu undang-undang pokok
yang memiliki seberapa bab yang mengandung bahasa tinggi dan bercabang dan
sebagainya, maka tidak boleh menafsirkan (mengartikan) AL-Qur’an hanya dari
ayatnya saja. Tetapi juga harus dan wajib memeriksa dua perkara: Pertama
al-Hadits atau sunnah. Karena Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, maka tidak ada yang lebih mengerti dan paham akan maksud dan arti
kandungan yang sebenarnya kecuali Nabi Muhammad; maka Nabi inilah yang
menunjukan maksud dan arti kandungan Al-Qur’an itu lewat perkataan, perbuatan
dan )tingkah laku.[17]
Paham Aswaja yang
dikembangkan NU secara umum berpangkal pada tiga pandangan pokok seperti telah
disebut diatas. Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut, NU dalam
mengantisipasi perubahan zaman, terutama dalam bidang hukum dan politik,
disamping menggunakan empat sumber hukum Islam yakni al-Qur’an, al-Hadits,
Ijma’ dan Qiyas, juga mengacu pada lima pokok tujuan Syari’ah, sebagaimana
dikemukakan oleh Imam as-Syathibi, yakni : melindungi agama, jiwa, keturunan
atau kehormatan, harta dan akal sehat. Lima pokok tujuan Syari’ah itu masih
ditopang lagi dengan kaidah kaidah fiqih (argumen-argumen rasional) sebagai
berikut :
1.
Setiap urusan tergantung tujuannya.
2.
Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena keraguannya.
3.
Bahaya itu harus dilenyapkan.
4.
Kesulitan itu dapat menghilangkan kemudahan.
5.
Adat kebiasaan itu dapat dikukuhkan sebagai hukum.
Dari kelima kaidah
pokok tersebut, kemudian lahir kaidah-kaidah fiqih lain sebagai
cabang-cabangnya, yaitu :
Ø
Menghindari kerusakan harus didahulukan atas melaksanakan kebaikan.
Ø
Apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka harus dipertimbangkan
bahaya yang lebih besar, dengan menjalankan resiko yang lebih kecil.
Ø
Kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat
itu menjadi wajib pula.
Ø
Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.
Ø
Apabila keadaan sempit lapangkanlah dan apabila keadaan lapang persempitlah.
Ø
Memelihara hal lama yang baik, dan mengambil baru yang lebih baik.
Ø
Kesulitan memperoleh segala sesuatu yang semula dilarangnya.
Dengan berpijak pada
kaidah-kaidah fiqih seperti dikemukakan di atas, dalam aspek sosial
kemasyarakatan, NU mencoba mengembangkan sikap-sikap Tawassuth (moderat/sikap
tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar
(mendorong berbuat baik dan) mencegah perbuatan mungkar). Sikap moderat
Ahlussunah Wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath) yang
tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan atri penting
posisi akal/ra’yi, begitu pula dalam wacana berpikir selalu menjembatani
kerangka berpikir oleh imam madzhab serta generasi berikutnya dalam
mengistinbathkan hukum.
Sedangkan sikap netral
(tawazun) Ahlussunah Wal Jama’ah berkaitan dengan sikap mereka dalam merespon
dan berhadapan dengan prsoalan sosial politik. Ahlussunah Wal Jama’ah tidak
terlalu membenarkan sikap kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi jika
berhadapan dengan penguasa yang zalim, tirani dan diktaktor, mereka tidak
segan-segan untuk mengadakan aliansi untuk menghadapinya. dengan kata lain,
suatau saat mereka bisa akomodatif, namun pada saat yang lain bisa kritis
walaupun masih dalam tawazun. Sedangkan dalam sikap ta’adul (keseimbangan)
Ahlussunah Wal Jama’ah terefleksi pada kiprah mereka dalam khidupan sosial
antara sesama dalam spektrum budaya tertentu.
Pemahaman Ahlussunah
Wal Jama’ah sebagai akumulasi doktrin-doktrin sebagaimana yang dirumuskan oleh
tokoh-tokoh Sunni menjadikan doktrin Aswaja tidak mampu untuk berhadapan dan berdialog
dengan perubahan seiring dinamika masyarakat yang berkembang. Rumusan yang
selama ini dijadikan acuan teologis bagi mayoritas umat Islam tidak mampu lagi
mengakomodasi tuntutan perubahan. Munculnya tatanan masyarakat yang timpang dan
tidak demokratis tidak mampu lagi dibaca dalam kerangka rumusan doktrin lama
ini. Hal ini terlihat dari fatwa-fatwa ulama dan organisasi keagamaan yang
sering kali melegitimasi kebijakan penguasa atas nama agama untuk kepentingan
tertentu.[18]
Dalam diskursus
sosial-budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang
telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya,
bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek
kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu
tidak mengherankan dalam tradisi kauym Sunni terkesan wajah kultur Syi’ah ayau
bahkan juga Hinduisme.
Jika di amati secara
teliti, dinamika perkembangan NU dewasa ini agaknya tidak terlepas dari sosok
figur yang bernama Abdurrahman Wahid. Sejak ia mengemban kepemimpinan di
Tanfidziyah tahun 1984, NU seolah sedang memasuki dunia baru yang penuh dengan
dinamika dan gejolak, baik intrnal maupun eksternal. Sebuah harapan, bahwa
polemik (al-khiwar), munaqosah, dialog dan ikhtilaf dalam hal pemikiran
keagamaan, ketika masih dalam koridor etika intelektual, dapat menjadi tradisi
baru dalam khasanah “NU Baru”. Gus Dur, dan teman-teman.
Tokoh filsafat Barat
mengatakan Seperti yang dilontarkan Martin “sebagai usaha generasi yang
masih seide dengan gagasan Abdurrahman Wahid”, sebut saja, misalnya, K.H
Sahal Mahfuz, K.H Mustofa Bisri, Masdar Farid Mas’udi dan seterusnya, sebagai
sosok figur yang mendorong dan turut meletakkan dasar-dasar keterbukaan dan
menfasilitasi perkembangan pemikiran selama beberapa dekade ini berlangsung.
Menjadi keniscayaan bagi generasi NU kedepan adalah bagaimana NU lebih
menfasilitasi tranformasi yang sedang terjadi dan membina keberdayaan sosial
politik dan terutama ekonomi masyarakat bawah terbangunnya civil Socity yang
tercerahkan.[19]
Nampaknya tampilnya Gus
Dur sebagai orang nomor satu di tubuh NU, dan orang-orang yang ikut mendorong
terhadap perkembangan NU telah memberikan kobntribusi perubahan terhadap
lanskap sosiologis yang sudah terbentuk lama. Mengingat langkah-langkah
pembaharuan yang dilakukannya, timbul kesan sementara pihak bahwa dalam
beberapa hal justru NU dinilai lebih maju daripada organisasi-organisasi Islam
lain.
Banyak terobosan yang
sudah dilakukan oleh gerakan pembaharuan, dalam hal ini Gus Dur dan
teman-teman, meski tidak semuanya berhasil. Sebagai contoh dalam bidang
ekonomi, ia telah merintis kerja sama dengan Bank Summa dengan mendirikan BPR
Nusumma. Juga bekerja sama dengan beberapa konglomerat untuk mendirikan pabrik.
Dalam bidang sosial, dia memndorong berdirinya LSM-LSM di bawah payung NU,
kemudian menjalin kerja sama dengan LSM dan lembaga-lembaga internasional.
Sementara dalam masalah keagamaan, ia memperbaharui pandangan dan sikap NU
tentang berbagai hal, seperti kesetaraan Pria-Wanita (gender). Kemudian ide
tentang “pribumisasi” Islam, tentang asuransi, pajak, bunga bank, kasus
Asslamu’alaikum dan selamat pagi, serta banyak hal lain.
Lontaran-lontaran
pembaharuan pemikiran Islam yang di pelopori oleh almarhum KH. Akhmad Siddiq
tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Muhammadiyah. Hasil Munas Cilacap
menandai dimulainya gerakan pembaharuan di tubuh NU. Langkah-langkah yang lebih
konkrit kemudian dilakukan, seperti penilaian ulang kiab-kitab kuning yang
digunakan di pesantren, metode pengambilan keputusan dengan merujuk langsung Al-Qur’an
dan Hadits.
Dalam ranah semangat
pluralisme dan demokrasi, citra NU telah berubah dari organisasi ekslusif
(bersifat keras), konservtif, dan fundamentalis menjadi NU sebagai Dalam
konteks hubungan organisasi yang inklusif, modern dan moderat.34 dengan
kelompok lain baik lingkup Nasional atau Internasional, Gus Dur mampu menjalin
hubungan yang baik dalam rangka menjaga keutuhan pluralitas kehidupan.
KESIMPULAN
Menyadari bahwa
kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari kemajuan peradaban manusia, maka
penganut ahl sunnah wal jamah dalam era globalisasi ini justru harus
menghadapinya dengan kesiapan untuk berlomba dalam mendakwahkan nilai-nilai
Islam kepada masyarakat dunia. Dengan cara bersikap kreatif dengan menggali tak
kenal henti saripati dan hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan
sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin) .
Tidak bisa dinafikan
bahwa ada sisi lain dari globalisasi yang berdampak tidak menguntungkan bagi
umat Islam. Sebab pihak yang diuntungkan adalah yang paling menguasai teknologi
dan bermodal besar. Dalam situasi inilah globalisasi muncul dalam bentuk
dominasi Barat terhadap negara-negara Timur (Islam). Salah satu faktor yang
menyebabkan muncul dan meluasnya radikalisme serta terorisme adalah dominasi
tersebut. John L Esposito misalnya, melihat bahwa dominasi Barat terhadap
negara-negara Islam menyebabkan umat Islam resisten terhadap peradaban Barat.
Celakanya, resistensi tersebut acapkali disertai dengan generalisasi bahwa
semua yang berasal dari Barat harus ditolak dan dimusuhi.
Dengan demikian sedikit
banyak globalisasi memiliki kontribusi dalam konflik Islam-Barat. Ini bukan
berarti kita harus menolak globalisasi, sebab ada nilai-nilai dan produk
globalisasi yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Globalisasi sebagai
fenomena tercabutnya ruang dari waktu bukan hanya sebuah keniscayaan yang tidak
bisa ditampik, melainkan juga menguntungkan bagi interaksi peradaban seluruh
umat manusia. Kemunculannya seiring dengan kemajuan peradaban manusia itu
sendiri. Namun globalisasi sebagai sebuah ideologi, dimana liberalisme ekonomi
yang menjadi spiritnya, tentu harus diwaspadai.
Dengan demikian, kita
bisa berharap bahwa umat Islam tidak gampang terseret dalam menghadapi arus
globalisasi. Sebagai bagian terbesar dari bangsa Asia Tenggara, umat Islam
dengan kemampuannya menggali dan mendayagunakan ajaran agamanya untuk menjawab
tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu memelopori dan membawa
bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan global tanpa
kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini sekaligus
merupakan upaya kongkret untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.
Dengan teknologi
komunikasi dan informasi dunia memang terasa menjadi sempit dan kecil. Tanpa
keimanan kecanggihan produk Iptek tersebut dapat membawa manusia ke sikap
sombong dan melupakan Allah SWT. Namun, dari sudut iman, dunia yang terasa
kecil itu justru mengugah agar manusia lebih merasa kecil dihadapan Allah Yang
Maha Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini
akan mudah membawa orang-orang terombang-ambing, terlanda stress dan
keterasingan (alienated). Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh
menghadapinya karena proses tersebut dipahami sebagai bagian dari sunnatullah
yang tak mungkin dihindari.
Pada era globalisasi
dan informasi sekarang ini, sikap hidup masyarakat semakin rasional, laju
urbanisasi amat cepat terjadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
semakin pesat. Hal itu tentu saja merupakan tantangan bagi Muslim untuk memberikan
kontribusi. Etos keilmuan yang jelas sangat penting untuk dimiliki itu,
merupakan hal yang ditekankan dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk menuntut ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat (minal mahdi
ilal lahdi). Seyogyanyalah etos keilmuan itu senantiasa dihidupkan di dalam
kalbu setiap muslim demi kemajuan islam kedepan tanpa harus mengabaikan dan
konservatif atas kemajuan yang sudah berkembang di era globalisasi ini.
Catatan :
[1] Maroubeni, Sejarah
Aswaja hlm.76
[2] KOMUNITAS.COM, “Aswaja
dan peran arah baru NU”
[3]Abdul Mu’im DZ , “Ahi
Sunnah Waljamaah Dibumi Nusantara”hlm. 56
[4] Ibid1
[5] Said Aqil Siroj,
Makalah:“Doktrin aswaja dibidang social dan politik”
[6] Tafsir al-Qur'anil
'Azhim, juz III hal 206
[7] Khitthah Nahdliyah,
hal 40-44
[8] KOMUNITAS. COM, Aswaja
sebagai jawaban dinamika kehidupan
[9] Prof. Dr. Wahbah
Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i
”Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an dan Hadits”
”Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an dan Hadits”
[10] KOMUNITAS.COM, “Aswaja
Dan Peta Pemikiran Islam”
[11] KH Muhyidin
Abdusshomad, Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik
[12] KH. DR. Dr. Tarmizi
Taher, “Dakwah global Ahlus Sunnah wal Jama'ah”
[13] Ibid5
[14] Misbah Em Majidy, “Takdir
global”
[15] Ibid6
[16] Ibid7
[17] Ibid8
[18] Muhammad lhutfi
thomafi, “redefinisi konsep aswaja: sebuah gagasan”
[19] Bedah Buku Dan Diskusi
dengan tema: “Aswaja Di Era Global Dalam Kontestasinya Dengan Keyakinan
Dunia”
Download GEJOLAK ASWAJA DI ERA GLOBALISASI