Pengertian Rasionalisme[1]
Secara etimologis Rasionalisme
berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata
bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan
bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu,
secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada
prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan
akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul
atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Kehidupan dan Karya René Descartes[2]
René Descartes atau Cartesius
dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia
mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini,
karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada
di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya.
Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat,
fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan
ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.Setelah
meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di
Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu
dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang
kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan
dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang
paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap
di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis
banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia,
namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit
pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes
telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode
pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse
on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations
on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles
of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes merupakan orang pertama
yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan
astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima
dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya
keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan
baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence
yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan.[3]
Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang samasekali baru pada masyarakat
yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah
bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan
keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas
dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang
pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan
jelas.[4]Pada
dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan
matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar
dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti
dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai
kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia
mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip
yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas.
Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam
buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan
Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah
premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang
terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”[5].
Tentang Subtansi
Descartes berargumentasi dengan
wujudnya ragu atas diri, Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu,
terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata
"Aku ragu" dari sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan
"ragu mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia
menemukan "keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri.
Maksudnya adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo
sum" dia telah menetapkan dirinya pada kata "to". Dan
tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum".
Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang
meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan
sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah
sedemikian jelas dan presentifnya[6].
Jadi keraguan yang timbul dari cogito bukanlah keraguan skeptik yang
tidak mungkin untuk diperoleh kebenaran darinya. Tapi, keraguan yang timbul
disini adalah keraguan yang bersyarat yaitu membutuhkan suatu usaha untuk
mencapai kebenaran.
Dari prinsip dasar Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan
istilah subtansi, ada tiga ide bawaan yang diajarkan oleh Descartes, yaitu[7]:
a. Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berpikir (cogito), maka harus diterima juga bahwa pemikiran
merupakan hakekat saya. Karena berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa
secara detail dan terus-menerus meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa
keraguan.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna
(Cogito), mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena
suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Jadi konsepsi itu tidak berasal
dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan
dipikirikan sebagai subtansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa,
agar “ada” sendiri.[8]
c. Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai
keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan berpikir dan Tuhan menjamin
adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir, yaitu materi, pastilah ada
juga secara riil.
Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak
mengambil tempat karena ia tidak dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil.
Tapi dunia luar adalah materi yang cenderung melakukan perluasan dan mengambil
ruang, karennya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih
kecil lagi.[9]
Tentang Jiwa dan Materi
Descartes secara garis besar membagi
dua dunia yang paralel tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang
masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak
menggerakkan tubuh secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa.[10]
Dan seorang pribadi adalah penyambung bagi dua substansi yang berbeda tersebut.
Dan pembedaan tersebut memberikan suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan
pada dunia fisik dan agama.[11]
Jadi tubuh dan jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang
satu menghadap kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam
pemikiran Descartes.
Ciri-Ciri Filsafat Descartes
Inti metode Descartes adalah
keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua
pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia
mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat
diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada
pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum.[12]
Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan
segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas
dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan
kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih
tinggi.
Meskipun demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman dipandang sebagai
sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran
dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika
kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal saja.[13]
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat
umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena
itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q.
Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap
karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju
satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian historis kita lalu ditambah,
namun bukan pemahaman kita.[14]
Dalam membangun filsafatnya
Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan
kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang
dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain[15]:
a. Apakah kita bisa menggapai suatu
pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih
pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana
metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar[16]:
a. Seorang filosuf harus hanya menerima
suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
b. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai
dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan:
maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang
sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
c. Jika kita menemukan suatu gagasan
sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya
untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang
ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
d. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali
terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti
bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang
benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut
dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut
Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari
keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
Kritik Terhadap Rasionalisme Descartes
a. Dualisme pemikiran Descartes
mengenai tubuh dan jiwa.
b. Tidak adanya kebenaran absolut dalam pemikiran Descartes.
c. Kecenderungannya pada akal telah
melemahkan filsafatnya. Hal ini dikarenakan akal manusia itu terbatas.
d. Filsafatnya banyak dipengaruhi fisika dan matematika.
e. Inkonsistensi Descartes dalam
filsafatnya. Ia menyatakan kebenaran hanya diperoleh melalui akal tapi pada
kenyataannya ia masih tergantung pada keputusan Tuhan.
Download Pengertian Rasionalisme