KAWIN HAMIL
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas semester IV mata kuliah
Organisai dan Manajemen KUA
.
Disusun
oleh:
1.
Eko Yusuf Permadi
2.
Ainul Yaqin
Dosen Pembimbing :
Drs. H. Masruri Asmu’i
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
INSTITUT KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG
2012
I. PENDAHULUAN
Kawin hamil
merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-akhir ini. Bahkan
seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam
masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah
mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat
membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi
oleh kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar
kita yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri, untuk itu dalam
makalah ini kami akan mengungkap misteri dibalik kawin hamil dilihat dari
kacamata islam.
II. RUMUSAN MASALAH
Kawin hamil dalam perspektif islam.
Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah.
Pendapat beberapa Ulama’ tentang kawin hamil.
Status anak zina
III. PEMBAHASAN
Yang dimaksud
dengan “kawin hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di
luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh
laki-laki bukan yang menghamilinya.
Hukum kawin
dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai
berikut :
1.
Ulama mazhab yang empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah
dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu
yang menghamilinya dan kemudian ia yang mengawininya.
2.
Ibnu Hazm (Zhahiriyah)
berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur,
dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk),
karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah pernah
diterapkan oleh sahabat nabi antara lain:
a.
Ketika Jabir bin Abdilah
ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata:
“boleh mengawinkannya, asal keduanya telah betaubat dan memperbaiki
sifat-sifatnya”.
b.
Seorang laki-laki tua
menyatakan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul
Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan inginkan agar keduanya
dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk
melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya mengenai pria yang
kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat
para ulama :
1)
Imam Abu Yusuf, mengatakan
keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal
(fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah:
الزَّانِي
لا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan
musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang beriman (Q.S.An-Nur 3).
Maksud ayat
tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang
wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas
kawin dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat
oleh hadist Nabi:
ﺍﻦ
ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ
٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya
seorang leki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia
mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian
Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu
didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
Ibnu Qudamah
sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh
mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain kecuali
dengan dua syarat:
a)
Wanita tersebut telah
melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b)
Wanita tersebut telah
menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2)
Imam Muhammad bin Al- Hasan
Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya
bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
ﻻﺘﺆﻄﺄﺤﺎﻤﻼﺤﺘﻰﺘﻀﻊ
Janganlah engkau campuri wanita
yang hamil, sehingga lahir (kandungannya).
3)
Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat
dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga
dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu
ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang
yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
Dengan
demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini
ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya
itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a)
Bayi itu termasuk anak
zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas.
Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
b)
Bayi itu termasuk anak
zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat dari segi
bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak
dari ibunya itu.
c)
Dalam kompilasi hukum
Islam, masalah kawin hamil dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 53
1.
Seorang wanita hamil di
luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita
hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak dipelukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Terjadinya
wanita hamil di luar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh agama, norma,
etika, perundang-undangan negara), selain karena adanya pergaulan bebas, juga
karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya, untuk
mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu, pendidikan agama yang
mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.
IV. ANALISIS.
Kami
sependapat dengan para ulama yang mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal
menikahi wanita yang berzina pula. Dengan demikian perkawinan antara pria
dengan wanita yang dihamili sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh
sebagaimana layaknya suami isteri, ini juga tidak bertentangan dengan isi surat
An-Nur ayat (3), karena mereka statusnya sebagai orang yang berzina.
Adapun menurut
pendapat Ibnu Hazm dan Jabir bin Abdilah yang berpendapat bahwa keduanya boleh
(sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah
bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), kami kurang setuju karena apa,
karena hukum yang seperti itu dilaksanakan di Arab sana yang notabenenya
menggunakan hukum islam, akan tetapi negara kita bukanlah negara islam, jadi
apakah hukum itu layak utuk kita terapkan? Tentunya tidak bukan? padahal
didalam undang-undang kita tidak ada hukuman seperti itu. Untuk itu kami
sepakat dengan pendapat Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
yang berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana
suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian
ia mengawininya. Seperti Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI yang
merupakan ketentuan baru dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53
disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.
Apabila yang
mengawininya bukan yang menghamilinya, perkawinan itu menurut kami tetap sah
karena perkawinan itu tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada
masa ‘iddah), disamping itu karena tidak ada dalil atau illat yang melarangnya.
Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang
setelah melahirkan. Karena sesungguhnya illat (titik point) larangan hal itu
adalah tercampurnya sperma seseorang dengan sperma orang lain dalam satu rahim
yang sama. Sedangkan kita tahu bahwa wanita itu hamil diluar nikah, artinya
ketika proses perkawinan dilaksanakan keadaan wanita itu sudah hamil duluan,
jadi walaupun yang mengawini bukan orang yang menghamili menurut kami tidak
masalah karena tidak mungkin sel sperma itu bercampur antara yang menghamili
dengan yang mengawini sedangkan di dalam rahim sang wanita sudah terdapat
janin. Islam melarang wanita untuk poliandri adalah karena salah satu sebabnya
dikhawatirkan dua sel sperma itu akan bercampur dalam satu rahim yang bisa
membuat kita kesulitan untuk menentukan nasab siapa si anak tersebut. Karena
pernikahan antara mereka menurut kami sudah sah di mata hukum negara, juga sah
di sisi Allah SWT. Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan
untuk melakukan hubungan suami isteri karena sudah ada ikatan perkawinan di
antara keduanya.
Akan tetapi
tidak jarang kalau ada, bahkan seringkali ada orang yang tetap mengharamkan
permasalahan ini, kami juga tidak bisa menyalahkan begitu saja karena semu
orang mungkin punya interpretasi sendiri-sendiri dalam memahami suatu dalil,
dalam menafsirkan mungkin ada Ulama’ yang secara normatif saja akan tetapi ada
yang secara kontekstual, sehingga sudah sangat wajar bila terjadi perbedaan
beberapa pendapat. Mungkin juga karena agak rancu dalam memahami keadaan serta
titik pangkal keharamannya.
Satu hal lagi
menurut kami yang perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum
antara dua istilah. Istilah yang pertama adalah 'wanita pezina', sedangkan yang
kedua adalah 'wanita yang pernah berzina'.
Antara
keduanya sangat besar bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah
melakukan zina, belum bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali
atau seringkali. Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal.
Wanita yang
bertipologi seperti ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan
menghentikan perbuatannya secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah
mengaharamkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti
inilah yang dimaksud di dalam surat An-Nur:3.
Adapun wanita
yang pernah berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan
taubat nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang
sama untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan
wanita pezina. Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan
pernikahan bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna
evaluasi kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini
tetap dapat memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abd,
Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, Kencana: 2006.
Hasan, M, Ali,
Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995
Abidin,
Slamet, dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999,