PERLINDUNGAN
ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA DAN BEIJING RULES
(Disusun
untuk memenuhi tugas semester VI mata kuliah Hukum Pertanahan)
.
Disusun oleh:
1. Nurul
Alifah
2. Eko
Yusuf Permadi
3. M.
Balighudin
4.
Dosen Pembimbing :
H. Ainun Rosyid, S.H.
FAKULTAS
SYARI’AH
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
INSTITUT
KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG
2013
PERLINDUNGAN
ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA DAN BEIJING RULES
PENDAHULUAN
Anak
adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat melayu dalam
mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan
hidup mereka. Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan
negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini
dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa
tersebut akan ditentukan.
Semakin
modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan
kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan.
Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak – anak meliputi berbagai aspek
kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek
hukum.
Menurut
Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental
rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak. (Barda Nawawi Arief,1998:155).
Perlindungan
hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai
dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum
bagi anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu:
a)
perlindungan
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;
b)
perlindungan
anak dalam proses peradilan;
c)
perlindungan
kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan
sosial);
d)
perlindungan
anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan;
e)
perlindungan
anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran,
pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam
melakukan kejahatan dan sebagainya);
f)
perlindungan
terhadap anak-anak jalanan;
g)
perlindungan
anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
h)
perlindungan
anak terhadap tindakan kekerasan. (Barda Nawawi Arief, 1998:156)
Kesejahteraan
anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum,
kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7)
Berdasarkan
prinsip non- diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa
terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal
maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama
dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut.
Kondisi
anak dewasa ini yang sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama
pemerintah dan masyarakat. Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk
saat ini, nampaknya masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui
bersama bahwa tidak sedikit anak yang menjadi korban kejahatan dan
dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak sedikit pula anak-anak yang
melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga mengarah pada bentuk
tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian, pengrusakan,
pencurian bahkan bisa sampai pada melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku
menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal
maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan
jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap
kritikan, serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak
itu berada.(Gatot Supramono, 2000:4).
Perilaku
menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency)
tidak dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan
orang dewasa. Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat
kematangan fisik dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya
dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap
mereka.
Terhadap
anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang, sikap yang ditunjukkan
masyarakat dan pemerintah seringkali kurang arif. Anggapan atau stigma sebagai
anak nakal atau penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan dalam
proses peradilan, mereka kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang
terjadi adalah anak-anak pelaku kejahatan tersebut menjadi korban struktural
dari para penegak hukum.
Beberapa
produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin terlaksananya
perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan anak dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
anak.
Mengingat
anak dipandang sebagai subjek khusus dalam hukum, maka peraturan perundang-undangan
tersebut memuat berbagai kekhususan tentang anak, yaitu kekhususan perlakuan
hukum terhadap anak baik sebagai korban maupun anak sebagai pelaku, baik dalam
proses pengadilannya hingga pada penjatuhan sanksi yang dikenakan dan lembaga
pemasyarakatannya.
Kekhususan-kekhususan
tertentu mengenai cara memperlakukan anak-anak pelaku kejahatan dalam berbagai
undang-undang, pada kenyataannya tidak menjamin tindakan para penegak hukum
dalam memperlakukan anak pelaku kejahatan secara arif dan bijaksana dengan memperhatikan
kondisi internal anak-anak dan pengaruh jangka panjang bagi masa depannya.
Dikatakan
demikian, karena masih banyak penegak hukum yang kurang memperhatikan hak-hak
anak pelaku tindak pidana. Mereka kerapkali memperlakukan mereka sama dengan
pelaku yang sudah dewasa, semisal mereka diletakkan di Lembaga Pemasyarakatan
yang sama dengan pelaku dewasa umumnya tanpa mempertimbangkan ekses-ekses
negatif yang timbul dari tindakan tersebut.
RUANG
LINGKUP
Perlindungan
anak sebagai pelaku tindak pidana sama pentingnya dengan perlindungan
anak sebagai korban. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penulis dalam
makalah ini menfokuskan pada kajian terhadap perlindungan anak dilihat dari 2
(dua) sudut pandang yakni anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban ditinjau
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Beijing
Rules. Bahasan pertama mengenai kedudukan anak di mata hukum, kemudian
bahasan yang kedua adalah mengenai perlindungan yang diberikan hukum kepada
anak sebagai pelaku tindak pidana yang dikaitkan hukum pidana positif yang
berlaku dan Beijing Rules.
BAHASAN
UTAMA
Pengertian
Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional dan Hukum Pidana Positif Indonesia
Terdapat
banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai
siapakah yang disebut dengan ”anak” ini. Masing-masing definisi ini memberikan
batasan yang berbeda disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal
1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak yang
telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak adalah:
“………..Setiap
manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (C.De
Rover, 2000:369)
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merumuskan dalam pasal 1 nomor 1
bahwa :
“Anak
adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam
kandungan”
Di
antara undang-undang yang lain, Undang-undang perlindungan anak ini lebih rigid
dan limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam
kandungan sebagai kategori anak juga.
Dalam
Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak
disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin”.
Dan,
yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor
1 bahwa:
“Anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
Dari
beberapa perundang-undangan pidana Indonesia, penulis dapat menggarisbawahi
tiga hal yang signifikan, yaitu:
1.
Batasan
yang digunakan oleh masing-masing undang-undang yang telah disebutkan di atas
untuk memaknai siapakah yang disebut anak tersebut, umumnya berdasarkan
batasan umur;
2.
KUHP sebagai peraturan induk dari keseluruhan
peraturan hukum pidana di Indonesia, sama sekali tidak memberikan batasan
yuridis mengenai anak. Pasal 45 KUHP yang selama ini dianggap
sebagai batasan anak yang dalam KUHP, sesungguhnya bukan merupakan definisi
anak, melainkan batasan kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap seseorang yang melakukan perbuatan sebelum berumur 16 (enam belas)
tahun;
3.
Dari
perundang-undangan pidana seperti yang telah disebut di atas, nampak adanya
ketidakseragaman definisi antara undang-undang yang satu dengan yang
lainnya dalam hal memaknai siapakah yang disebut anak tersebut. Ketidak
seragaman tersebut dilatarbelakangi dengan adanya perbedaan tujuan dan
sasaran dari masing-masing undang-undang tersebut. Meskipun tidak
dipungkiri, adanya perbedaan definisi ini akan menyulitkan para penegak hukum
dalam memberlakukan hukum yang sesuai terhadap anak.
Signifikansi
Kedudukan Khusus Anak Di Mata Hukum
Sama
halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu
aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum.
Prinsip
kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur
internal dan ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu: Unsur
internal pada diri anak, meliputi:
a.
Bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum
sama seperti orang dewasa, artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan
sebagai human rights yang terikat dengan ketentuan
perundang-undangan;
b.
Persamaan
hak dan kewajiban anak. Maksudnya adalah seorang anak juga mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan
perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum meletakkan anak
dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau
melakukan kewajiban-kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan
kedudukan orang dewasa; atau disebut sebagai subjek hukum yang normal.
Sedangkan, Unsur
eksternal pada diri anak, meliputi:
a.
Prinsip
persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the law), memberikan
legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untk berbuat
peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum sendiri. Atau
ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan
kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan;
b.
Hak-hak
privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya. (Maulana Hassan Waddong, 2000:4&5).
Meskipun
pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di
mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa
(khusus). Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan
dengan ketentuan hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya
terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak dalam proses acara di pengadilan.
Menurut
penulis, kedudukan istimewa (khusus) anak dalam hukum itu dilandasi dengan
pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya.
Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan
dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek
dari hukum negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi kesejahteraan
anak itu sendiri.
Dalam
hal ini, Irwanto lebih menegaskan lagi bahwa kedudukan khusus anak di mata
hukum tidak terlepas dari prinsip-prinsip berikut ini:
Prinsip
anak tidak dapat berjuang sendiri, Anak dengan segala keterbatasan
yang melekat pada dirinya belum mampu melindungi hak-haknya sendiri. Oleh
karena itu, orang tua, masyarakat dan negara harus berperan serta dalam
melindungi hak-hak tersebut; Prinsip kepentingan terbaik anak, bahwa
kepentinganterbaik anak harus dipandang sebagai ‘paramount importance’ atau
prioritas utama; Prinsip Ancangan Daur Kehidupan (life circle
approach, harus terbentuk pemahaman bahwa perlindungan terhadap
anak harus dimulai sejak dini dan berkelanjutan; Lintas
Sektora, bahwa nasib anak sangat bergantung pada berbagai faktor
makro dan mikro, baik langsung maupun tidak langsung. (Muhammad Joni,
1999:106).
Perlindungan
Anak Secara Umum
Mendapatkan
perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan
bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini
diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa
“melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara di masa depan”. (Arief Gosita, 1996:1). Dari ungkapan
tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan
masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga,
maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan
perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah
menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan
mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya.
Perlindungan
anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup,
mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief
Gosita, 1996:14).
Menurut
pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkan bahwa:
“Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Pada
umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya
meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat
merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari
dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh),
pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief
Gosita, 1996:6)
Sedangkan,
upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan
perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta
hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan
sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para
partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak,
penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita,
1996:7)
Kedua
upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari
perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung
tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak
langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap
perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi
menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh
para partisipan tersebut.
Upaya-upaya
ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau
dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
(Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Perlindungan
yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum.
Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai
kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children)
serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.(Barda
Nawawi Arief, 1998:156)
Perlindungan
hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata
yang mengatur mengenai anak seperti,
1.
Kedudukan
anak sah dan hukum waris;
2.
pengakuan
dan pengesahan anak di luar kawin;
3.
kewajiban
orang tua terhadap anak;
4.
kebelumdewasaan
anak dan perwaliaan. (Retnowulan, 1996:3)
Dalam
hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP
(telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung
atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal
278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal
308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP.
Selanjutnya,
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang
Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai
upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur
mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks
peradilan anak.
Perlindungan
anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya
peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan
melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang
lebih lengkap dan canggih.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut
tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak.
Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak
boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi
Hak Anak, yaitu:
1.
Prinsip-prinsip
non-diskriminasi (non-discrimination);
2.
Prinsip
Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child;
3.
Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan
hidup dan pengembangan (the right to life, survival and development);
4.
Prinsip menghormati pandangan anak (respect
to the views of the child).(www.sekitarkita.com,2002)
Perlindungan
Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif KUHP,
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The Beijing Rules
Peradilan
pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk
perlindungan yang diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak
pidana. Orientasi dari keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus
ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi prinsip
kepentingan terbaik anak (the best interest for children).
Tujuan
utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing
Rules) dalam rule 5.1 bahwa:
“The
juvenile justice system shall emphasize the well – being of the
juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always
be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.(Rule
5.1. SMR JJ dalam Muladi, 1992:112).
Dari Aims
of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran
dibentuknya peradilan anak, yaitu:
a)
Memajukan
kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile),Artinya,
Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem
peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan
penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat
menghukum. (Muladi, 1992:113). Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana
penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan
anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un
Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda
Nawawi Arief, 1996:13);
b)
Mengedepankan
prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip
yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat
menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan
pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan
pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu
lembaga sosial.(Muladi, 19992:114)
Sebagai
subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan
hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan
jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya
tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang.
Jaminan
umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural
yang paling mendasar, antara lain:
a.
Hak
untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges);
b.
Hak
untuk tetap diam (the right to remain silent) ;
c.
Hak
untuk memperoleh penasehat hukum (the right to councel);
d.
Hak
untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent of
guardian);
e.
Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan
silang para saksi (the right to confront and cross-examine witness);
f.
Hak untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi
(the right to appeal to a higher authority). (Muladi, 1992:117).
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan terhadap
anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai dari
ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak, dengan
berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku
universal, yakni:
a.
non-diskriminasi;
b.
kepentingan
terbaik bagi anak;
c.
hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
penghargaan
terhadap pendapat anak.
Dalam
lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus yang diberikan kepada anak
sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The
Beijing Rules.
Sebagai
peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-jaminan khusus bagi
anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi undang-undang
peradilan anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal
ini, terdapat beberapa ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan
induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest for children).
Berikut
ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak:
1)
Mengenai
batasan minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana (the minimum age
of criminal responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-undang
Peradilan Anak menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat
dihadapkan ke pengadilan adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997). Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 8 – 12 tahun
hanya berupa tindakan, namun dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban
pidana yang terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif
yang dirasakan anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan
akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak.
Hal ini jelas merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke
persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat,
sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama
tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip
terbaik bagi anak;
2)
Adanya
inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP. Dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHP
dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini jelas
akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait
dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada
Pasal 45, 46, 47 KUHP saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain
dalam buku II dan III KUHP. Dengan tidak adanya penegasan dalam Undang-undang
Pengadilan anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45,
46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak. (Disarikan dalam
Barda Nawawi Arief, 2005).
Di
sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan
umum, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap berpedoman pada
aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam peraturan induknya
(KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undang-undang yang bersangkutan.
Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II dan Bab III) KUHP
semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus, recidive, dan
ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka
aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian sistem yang
tidak terpisahkan. Hal ini sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa
ketentuan seperti yang disebutkan di atas, terhadap anak tetap dikenakan
ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya.
Mengenai
pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana pokok yang
dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah jenis
ataupun bobot pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang
menjadi pedoman bagi hakim untuk melaksanakan sanksi pidana bagi anak.
Dalam
undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai kewenangan
hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan (seperti yang
telah diatur dalamThe Beijing Rules, Rule 17.4)
Seperti
yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya
diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak,
adalah sebagai berikut:
Rule
17.1 :
a)
Reaksi
yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan
keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; \
b)
Pembatasan
kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang
hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;
c)
Perampasan
kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius
(termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan
tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang
lebih tepat;
d)
Kesejahteraan
anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak.
Rule
17. 4 :
Adanya
prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim
dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak.
Rule
19.1:
Penempatan
seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu
ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka
waktu minimal yang diperlukan. (Barda Nawawi Arief, 1998:164-165).
Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengatur prinsip-prinsip yang
diakui oleh The Beijing Rules di atas (terkhusus prinsip
diversi), sehingga yang dapat terjadi adalah hakim dapat sewenang-wenang dalam
menerapkan pidana penjara terhadap anak, tanpa memperdulikan kepentingan
terbaik anak. Beberapa ketentuan yang cenderung tidak memperdulikan bahkan
merugikan anak, adalah ketentuan mengenai:
Ketentuan
mengenai Pidana bersyarat.
Berdasarkan
prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan khusus akan
menyimpangi aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 (sebagailex specialis) akan menyimpangi
(berlaku) ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP
(sebagai lex generalis).
Padahal
jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih
melindungi kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29
Undang-undang Peradilan Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa
permasalahan (kelemahan) yang terdapat dalam formulasi Pasal 29 tersebut adalah
sebagai berikut: sebagai bentuk non-custodial measures dan strafmodus,
pidana bersyarat yang diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana penjara saja
(tidak diperkenankan untuk pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana
tambahan lainnya). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang
mensyaratkan pidana bersyarat untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau
pidana kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2
(dua) ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk memperoleh
pidana bersyarat bagi orang dewasa lebih besar daripada kesempatan bagi anak.
Ini jelas sangat diskriminatif, padahal prinsip yang seharusnya melandasi
setiap ketentuan untuk anak adalah “Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh
tidak realistis kiranya jika kesempatan untuk mendapatkan pidana bersyarat bagi
anak yang seharusnya lebih besar, menjadi lebih kecil dibandingkan orang
dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana bersyarat untuk pidana
kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis ketentuan mengenai hal itu
kembali lagi harus mengacu pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP (kecuali
pidana bersyarat dalam hal pidana penjara), padahal dalam hal ini KUHP tidak
mengenal pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan. Sehingga tetap saja
tidak ada pidana bersyarat untuk pidana tambahan “ Pembayaran Ganti Rugi”.
Ketentuan
mengenai Pelepasan bersyarat
Permasalahan
yang timbul dari ketentuan Pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a)
Ketentuan
mana yang akan diberlakukan kepada anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, hal ini dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak
dicabut oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997;
b)
Pasal
62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang “Pidana dan
Tindakan”), tetapi ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga Pemasyarakatan
Anak”. Penempatan pasal pada bab yang tidak semestinya ini, selain menyebabkan
penafsiran yang berbeda mengenai peruntukkan pasal tersebut, juga menyebabkan
keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh para aparat penegak hukum,
sehingga seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan mengenai pelepasan
bersyarat dalam undang-undang yang dimaksud;
c)
Ketentuan
jangka waktu percobaan pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 sangat pendek jika dibandingkan dengan jangka waktu yang
ditetapkan KUHP. Masa percobaan pelepasan bersyarat dalam KUHP (Pasal 15)
adalah sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun.
Sedangkan, masa percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam Pasal 62
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sama dengan sisa pidana yang
harus dijalankannya (tanpa penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga
tidak masuk akal, berdasarkan prinsip kepentingan terbaik anak, seharusnya
kesempatan yang diberikan anak untuk menjalani pelepasan bersyarat/pembebasan
bersyarat lebih lama, dibandingkan kesempatan yang diberikan kepada orang
dewasa, bukan malah lebih dipersingkat sehingga peluang anak untuk kembali
menjalani pidana penjara lebih besar.
Ketentuan
mengenai pidana Pengawasan
Pidana
pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini
merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 untuk perkara-perkara pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah
mengingat KUHP tidak mengenal pidana pengawasan, maka Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 seharusnya mengatur pula mengenai aturan pelaksanaannya (strafmodus).
Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak
mengaturkan aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang
muncul adalah kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara
anak karena tidak ada aturan pelaksananya.
Dari
beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak belum cukup
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana.
Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal (pidana bersyarat dan
pelepasan bersyarat) KUHP lebih memberikan jaminan perlindungan bagi anak.
Dengan
adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum dalam menangani perkara
anak seringkali keliru dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang, sehingga
pada tataran praktek yang muncul adalah ketidakadilan bagi anak.
Demi
menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, degradasi mental
dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses
stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan
kemandirian anak dalam arti yang wajar, maka dalam menangani masalah hukum dari
anak-anak yang telah melakukan perilaku yang menyimpang, para penegak hukum
perlu memahami bahwa:
a.
anak
yang melakukan tindak pidana (juvenile offender) janganlah dipandang
sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat sebagai orang yang memerlukan
bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi, 1992:115), pendekatan yuridis
terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan
pendekatan kejiwaan.
b.
Kesejahteraan
anak dalam hal ini harus dijadikan guiding factordalam penegakan
hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan yang dapat penulis kemukakan berdasarkan uraian pembahasan di atas
adalah sebagai berikut:
1.
Anak
dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya.
Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan
dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek
dari hukum negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi
kesejahteraan anak itu sendiri;
2.
Pada
dasarnya, Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak
sebagai guiding factor dan disertai prinsip proporsionalitas
merupakan bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagi pelaku tindak pidana. Dalam
hal ini, secara yuridis-formil Undang-undang Pengadilan anak tidak cukup
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan.
Terdapat beberapa peraturan dalam undang-undang tersebut yang inkonsistensi
dengan KUHP dan The Beijing Rules, sehingga yang terjadi adalah
secara tidak langsung terjadi pengabaian prinsip kepentingan terbaik anak
seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
DAFTAR
RUJUKAN
Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
————————, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah
perlindungan anak “ ,
Seminar Nasional Perlindungan anak,
diselenggarakan UNPAD,Bandung: Hotel Panghegar,
———————, (14-15 Maret 2005)
Makalah “Perkembangan Sistem Hukum Pidana
di Indonesia, diselenggarakan
di UBAYA, Surabaya: Hotel Hyatt
Gosita, Arief, (5 Okober
1996) Makalah Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak
dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.
————————, (2003) Disertasi “Sanksi Alternatif
Sebagai Fokus Pembinaan
Anak Pidana Saran Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta: Program Pasca sarjana
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober
1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,
Seminar Nasional Peradilan Anak,
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,
————————–, (5 Oktober
1996) Instrumen Internasional Perlindungan Hak
Anak, Seminar
Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran.
Joni, Muhammad, (1999) Aspek
Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muladi, (1992) Bunga
Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit alumni
Rover, C. De, (2000) To Serve
And To Protect, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996)
Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,
Seminar Nasional Peradilan Anak,
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel Panghegar.
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar
Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak, Jakarta: PT.
Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
Undang-undang terdiri atas:
KUHP
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan