KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang
masih memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada
penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Berikut ini, penulis persembahkan
sebuah makalah yang berjudul “HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL dan MILITER”. Penulis
mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi
penulis sendiri.
Kepada pembaca yang budiman, jika
terdapat kekurangan atau kekeliruan dalam makalah ini, penulis mohon maaf,
karena penulis sendiri dalam tahap belajar. Dengan demikian, tak lupa penulis
ucapkan terimakasih kepada para pembaca. Semoga Allah SWT memberkahi makalah
ini sehingga benar-benar bermanfaat.
Jombang, 25 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pemerintahan Sipil
1.
Pengertian Pemerintahan Sipil 3
2.
Karakteristik Pemerintahan Sipil 4
B.
Pemerintahan Militer
1.
Pengertian Pemerintahan Militer 5
2.
Karakteristik Pemerintahan Militer 6
C.
Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer
di Indonesia 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan 11
B.
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Negara adalah sebuah istilah yang secara
terminologi berarti organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat
yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.[1]
Suatu Negara haruslah memiliki sedikitnya 3
unsur yang menjadikan Negara tersebut berdaulat di tengah-tengah negara
lainnya. Mahfud M.D. menyebutkan 3 unsur penting tersebut sebagai unsur
konstitutif.[2]
Unsur-unsur tersebut antara lain adalah : Rakyat, Wilayah, dan Pemerintah,
ditambah dengan pengakuan dari Negara lain.
Berbicara tentang bentuk pemerintahan, kita
mesti faham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara dan perbedaannya
dengan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan di awal, sejatinya negara
adalah sebuah organisasi. Selayaknya organisasi, maka negara pun memiliki
peraturan, selain itu negara juga memiliki sebuah badan yang berfungsi
merumuskan, menjalankan dan mengawasi peraturan itu.
Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang
menjadi beberapa bentuk pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang
memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar
kepada para penguasa negara tersebut. Dalam konteks ini muncul bentuk
pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk
pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama lain berbeda.
Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang
amat penting bagi satu bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan
nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian Hubungan
Sipil-Militer semula tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah
pengaruh dunia Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat.
Mula-mula itupun terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan
dengan ilmu sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun
pengertian itu menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian
yang diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia. Namun ada satu perbedaan
yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka yang hidup dalam
alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima dan menetapkan
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di dunia Barat yang berpaham
liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti supremasi Sipil atas Militer,
sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan Pancasila tidak dengan
sendirinya hubungan Sipil-Militer berarti supremasi sipil atas militer. Bahkan
dengan memperhatikan bahwa Pancasila menekankan faktor kekeluargaan dan
kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan masyarakat atas yang lain,
melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik
bagi bangsa, negara dan masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang tersurat dalam latar
belakang, maka penulis dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam
beberapa pertanyaan:
1. Pengertian Pemerintahan Sipil
dan karakteristiknya
2. Pengertian Pemerintahan
Militer dan karakteristiknya
3. Hubungan Pemerintahan Sipil
dan Militer di Indonesia
C. TUJUAN
PENULISAN MAKALAH
Dengan berdasar kepada poin-poin pertanyaan
tersebut diatas, maka penulis mempunyai tujuan dalam penulisan makalah ini,
yaitu :
1. Memahami Pengertian
Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya
2. Memahami Pengertian
Pemerintahan Militer dan karakteristiknya
3. Memahami Hubungan Pemerintahan
Sipil dan Militer di Indonesia
PEMBAHASAN
A. PEMERINTAHAN
SIPIL
1.
Pengertian Pemerintahan Sipil
Sebelum berbicara tentang pemerintahan sipil,
seyogyanya perlu diketahui arti dari istilah pemerintahan. Menurut CF Strong
dalam bukunya yang berjudul Modern Political Construction terbit tahun
1960 dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam arti luas meliputi kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah juga bertugas memelihara
perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1)
kekuasaan militer, (2) kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan keuangan.[3]
Sedangkan menurut SE Filner dalam buku Comperative
Gonverment (1974) istilah pemerintahan memiliki 4 arti yaitu :
1. kegiatan atau proses
memerintah
2. masalah-masalah kenegaraan
3. pejabat yang dibebani tugas
untuk memerintah
4. cara, metode, atau
sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah.[4]
Adapun dalam
melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan
sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya
dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Yang pertama adalah Pemerintahan Sipil, dalam
laman e-book Makalah/Training Islam
Intensif/empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan
Pemerintahan, disebutkan bahwa pemerintahan sipil adalah pemerintahan di
mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Sebelum sebuah
keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu,
dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan suara (referendum). Setelah
itu pun sebuah keputusan harus menunggu pengesahan terlebih dahulu dari lembaga
negara yang berwenang lewat sebuah sidang.
Sedangkan Sayidiman Suryohadiprojo
menyatakan bahwa Perkataan Sipil merupakan satu pengertian yang menyangkut
kewarganegaraan (Website’s Ninth New Collegiate Dictionary : Civil : relating
to citizens). Atau dapat dikatakan bahwa Sipil adalah segala sesuatu yang
bersangkutan dengan masyarakat, atau warga negara pada umumnya.[5]
2. Karakteristik
Pemerintahan Sipil
Eric Nordlinger dalam bukunya “Militer
dalam Politik” dikemukakan ada 3 bentuk pemerintahan sipil :
a.
Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena
tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan
timbul konflik yang serius diantara mereka. dengan demikian tidak terjadi
campur tangan militer.
Bentuk pemerintahan
sipil tradisional begitu berpengaruh di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada
abad ke-17 dan 18, mereka cenderung untuk tidak menganggap diri mereka sebagai
politisi, walaupun ketika sedang memerintah mereka telah dicekoki dengan
ciri-ciri sikap politik yang sama, yang ternyata kurang dikembangkan oleh elit
sipil.[6]
b. Pemerintahan sipil
Liberal
Model pemerintahan liberal didasarkan pada
pemisahan para elit berkenaan keahlian dan tanggung jawab masing-masing
pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Tapi sejalan Model liberal akan
menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena dan kegiatan politik. Didalam
tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan
netralitas pihak militer.[7]
c. Pemerintahan sipil Serapan
Dalam model serapan ini, pemerintahan sipil
memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan
ideologi, dan para ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata mereka.
Model serapan ini telah digunakan secara meluas dalam rezim-rezim komunis.
Militer dipisahkan dari bidang sipil karena keahlian profesionalnya, tetapi
sejalan dari segi ideologi.[8]
Dalam sejarahnya, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh
negara-negara barat, karena kebanyakan dari mereka berideologi liberal yang
memunculkan supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the
military). Dalam kata lain militer adalah subordinat dari pemerintahan
sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Berbeda
dengan apa yang terjadi di Indonesia yang berideologikan Pancasila, sipil dan
militer adalah satu bagian, tidak ada supremasi di antara keduanya. Yang harus
dimunculkan adalah bagaimana hubungan keduanya dapat menjamin kerukunan hidup
rakyat Indonesia itu sendiri. Sehingga tercipta kebersamaan dalam
memperjuangkan kepentingan bangsa.
Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas
hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi
perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya
dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah mendapat pengesahan dari
lembaga negara yang berwenang.
B. PEMERINTAHAN
MILITER
1.
Pengertian Pemerintahan Militer
Masa Orde Baru di Indonesia telah berakhir
dengan tergulingnya Presiden Soeharto dari kursi Presidennya, dan dimulailah
masa baru yang dinamakan Masa Reformasi. Sejalan dengan runtuhnya rezim
Soeharto, maka runtuh pula dominasi militer dalam politik Indonesia, masa orde
baru tersebut dikendalikan dengan sistem otoriter. Pada akhirnya, TNI/TNI
sebagai pucuk militer di Indonesia harus menanggalkan dwifungsinya kembali ke
barak dan hanya memainkan peran sebagai alat pertahanan negara dari ancaman
luar.
Adapun yang dimaksud dengan pemerintahan militer
adalah pemerintahan yang lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan,
keputusan diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedang yang lainnya mengikuti
keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti -- konsekuensi rantai komando
dalam militer. Sebuah undang-undang dalam sebuah pemerintahan militer dibuat
oleh pucuk pimpinan tertinggi, tanpa menyerahkan rancangannya kepada parlemen.[9]
2. Karakteristik
Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer lebih
merujuk ke arah gaya pemimpin suatu organisasi/ institusi/ negara. Dimana
kepemimpinan itu sendiri memiliki hubungan yang erat antara seorang dan
sekelompok manusia, karena adanya kepentingan bersama; hubungan itu ditandai
tingkah laku yang tertuju dan terbimbing daripada manusia yang seorang itu;
manusia atau orang ini biasanya disebut yang memimpin atau pemimpin, sedangkan
manusia yang mengikutinya disebut yang dipimpin.
Gaya kepemimpinan pemerintahan militer
ini memiliki karakteristik, sebagaimana dikemukakan Ninik
Widiyanti, adalah sebagai berikut:
Dalam pemerintahan militer, untuk
menggerakkan bawahannya digunakan sistem
perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan,
gerak geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan
formalitas yang berlebih-lebihan, menuntut disiplin keras
dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-upacara
untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari
bawahannya dan lain sebagainya.[10]
Dalam militer tidak ada orang sipil di
pemerintahannya, semuanya orang militer, tatanan sosial terlalu ketat, seperti
jam malam, tidak boleh demonstrasi, dan cara pemilihan pemimpin dilakukan
secara turun temurun
Selain Negara kita yang pernah didominasi oleh
Militer, Negara lain yang bisa diambil contoh melaksanakan pemerintahan
militer, contoh Junta Militer di Burma (Myanmar), Kuba Korea Utara, dan negara-negara
di Amerika Latin.
Junta militer (diucapkan menurut ucapan bahasa Spanyol hun-ta) biasanya merujuk ke suatu
bentuk pemerintahan diktator
militer. Dalam bahasa Spanyol, junta sendiri berarti "(rapat)
bersama", dan biasanya digunakan untuk berbagai kumpulan yang bersifat
kolegial (hubungan kerekanan).
Junta militer biasanya dipimpin oleh seorang perwira
militer yang berpangkat tinggi. Pemerintahan ini biasanya hanya
dikuasai oleh satu orang perwira yang mengendalikan hampir segala-galanya.
Bentuk-bentuk junta militer yang terkenal adalah pemerintahan Augusto Pinochet di Chili
dan Proceso de Reorganización Nacional, diktator
militer yang terkenal karena kekejamannya di Argentina dari 1976
hingga 1983.[11]
Rezim militer sering dianalogikan untuk menyebut
pemerintahan militer, sementara pihak militer dianggap sebagai kelompok dominan
yang mengatur dan mengelola negara, sedangkan pihak sipil dinilai sebagai
pembantu atau bawahan pihak militer. [12]
C. HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN
MILITER DI INDONESIA
Sebagai bangsa Indonesia kita mestinya bangga
dengan TNI, karena apa? ternyata Indonesia memperoleh peringkat yang luar biasa
dalam bidang kemiliteran. Jadi sebenarnya tidak beralasan kalau kita meremehkan
tentara nasional kita. Menurut data yang diambil oleh World Military Strengh Ranking. Militer Indonesia berada
pada posisi ke-14 dari seluruh negara di dunia ini, di atas negara-negara maju
lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.[13]
Kembali kepada sejarah militer Indonesia,
pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer di Indonesia sekiranya sudah lama
diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh dari politik, sejak dari kemerdekaan
pada tahun 1945. Organisasi nasional militer pun diperlukan untuk tugas yang
maha penting yakni membangun suatu negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang
membentuk negeri ini.
Pada masa
itu terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia yang
kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan ada
dalam naungan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat dengan
golongan elit militer. Dan puncaknya adalah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.
Sampai munculnya Supersemar pada tanggal
11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi Jenderal Soeharto wewenang yang
diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno yang pada saat itu dianggap
sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan lambang, sampai
secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret 1968.[14]
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang
tugasnya adalah : memulihkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
menstabilkan negeri yang secara politis terpecah belah, dan membangun
perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut Soeharto
memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau kelompok yang
fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat militer,
mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan agar
kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto
lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto
telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada
militer.[15]
Sejak tahun 1959, menurut suatu penelitian,
perwira-perwira angkatan darat secara kasar telah memegang seperempat dari
semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi penting pada departemen
pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26 Gubernur adalah bekas perwira
militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat, dan 40% dari kepala desa.[16]
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya
Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam hal ini TNI telah usai, Sejak itu
nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki terhadap TNI. Jika sebelumnya
tidak ada yang berani mengusik, sejak itu keberadaan TNI mulai banyak
dipersoalkan. TNI bukan cuma dipersalahkan, karena telah membuat banyak orang
di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, kehilangan anggota
keluarganya, tetapi juga karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis
politik, karena dianggap tidak mampu lagi mengatasi kerusuhan di berbagai
tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei 1998.
Saat ini TNI harus menghadapi kenyataan
sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya. Secara historis keterlibatan
TNI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas nasional. Kalau
mau jujur, sebenarnya bangsa dan negara manapun di dunia ini membutuhkan
stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga
perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalam hubungan sipil militer di
Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer
menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru. Yang
kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif
pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari TNI.[17]
Lalu, apakah artinya dalam konteks hubungan
sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah Indonesia, dikotomi sipil-militer
bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini TNI terkesan tidak suka dan selalu
mengelak adanya dikotomi sipil-militer di Indonesia, sikap semacam itu tidak
lepas dari penafsiran diri TNI dalam konteks sejarah Indonesia. TNI juga mudah
curiga kepada cendekiawan, seniman, aktivis LSM dan kalangan intelektual lain
yang memang selalu sangat antusias memperbincangkan hubungan sipil-militer,
yang selalu melemparkan isu-isu demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat
penafsiran terhadap batas-batas antara ranah politik dan perang antara
tugas-tugas sipil dan militer makin tidak jelas. Antara perang dan politik
ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik.
Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan Indonesia.
Sejak awal kelahirannya, TNI tidak pernah
mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya
pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar
Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui
pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar
Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI
tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno.[18]
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun
sipil) refleksikan bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi
militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia
profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar
"semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan
kependidikan.
Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan
negara Indonesia, dengan demikian, bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab
profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis,
kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu TNI di
identifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai
militer profesional (TNI adalah tentara professional yang mengabdi kepada
rakyat).
Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan
peran politiknya. Peran politik TNI, menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi
dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan
sebagai tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran
"kebijakan" (policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan
lebih jauh dengan konsep kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan
demikian, militer bukan lah institusi untuk merintis karier politik dan meraih
insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi
bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket
hijau-lorengnya.
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan
politik yang didudukinya bukan dalam kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai
hak politik setiap warga negara. Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI
professional itu juga menuntut TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung jawab
moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional
dari komitmen dan tanggung jawab moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai
loyalitas kepada Negara dan bukan kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada
pemerintah hanya sejauh pemerintah yang berkuasa. Tidak perduli sipil atau
militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan tuntutan dan cita-cita
moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan bersama yang demokratis, adil,
makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia.
Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk
melaksanakan proses ini secara konsisten dan sabar serta memelihara hasilnya
secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan
merupakan faktor positif dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia,
termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa kita.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk
pemerintahan yang menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan
pemerintahannya, sedangkan pemerintahan militer adalah suatu pemerintahan yang
dipimpin oleh penguasa diktator yang mengandalkan gaya militer yang sarat
dengan disiplin dan kental dengan ketentaraan.
Hubungan antara Sipil dan Militer lebih
diungkapkan dalam bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang
menyebabkan terjadinya kudeta-kudeta, dan ketidakstabilan rezim militer yang
tidak punya opsi memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada
akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang
dimilikinya.
Dan pada saat ini ketika semua hal dihadapkan
kepada profesionalisme yang menitikberatkan sejauh mana peran seorang warga
negara terhadap negaranya, maka militer memfokuskan diri dalam ranahnya
sendiri, demikian pula dengan sipil yang sekarang terintegrasi dalam bentuk
yang lebih dinamis. Sehingga tidak akan terjadi supremasi sipil terhadap
militer.
B. SARAN
Pergulatan politik antara ranah sipil dan
militer telah menghasilkan supremasi di antara kedua bentuk pemerintahan
tersebut, maka seyogyanya untuk menghindari hal tersebut diperlukan langkah
perubahan ke arah yang positif sehingga akan memunculkan hubungan yang
baik antara sipil dan militer dan dapat menunjang kepada terciptanya ketahanan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Janowitz, Morri, Hubungan
Sipil Militer,Jakarta: Bina Aksara, 1985
Nordlinger, Eric, Militer
Dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Syarafuddin, Makalah
Konsep Dan Metodologi Perbandingan Pemerintahan, 2010
Ubaedillah, Ahmad,
Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Widiyanti, Ninik, YW.
Sunindia, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern,Jakarta: Bina Aksara,
1988
Wirahadikusumah, Agus,
E-book Mencari Format Baru Hubungan -Militer,
http: //www.
Wikipedia.com/id/juntamiliter
http//www.
Globalfirepower. Com
http//www.antaranews.com/berita/1280488947/
presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer
footnote :
[1] A. Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup,2008) hal. 84
[3] Syafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN
PEMERINTAH, disajikan tanggal 5 Maret 2010, halaman 5
[9] Makalah/Training Islam Intensif/
empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan Pemerintahan
[10] Dra.
Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina
Aksara, Jakarta, 1988, hal
8-9
[12] http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2219294-rezim-militer-dan-politik/#ixzz1bQQrjV2W
[18] Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar
nasional "Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer" Jurusan Ilmu
Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 1999.
[1] A. Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Grup,2008) hal. 84
[3] Syafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN PEMERINTAH,
disajikan tanggal 5 Maret 2010, halaman 5
[9] Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com-83-
Pengantar Ilmu Negara dan Pemerintahan
[10] Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam
Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 8-9
[12] http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2219294-rezim-militer-dan-politik/#ixzz1bQQrjV2W
[18] Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional
"Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik
Fisip UI, 24 - 25 Mei