Mengenal Hak Atas Tanah Dan Konflik Pertanahan Di Indonesia

KODE IKLAN ATAS ARTIKEL
KODE IKLAN TENGAH ARTIKEL
Mengenal Hak Atas Tanah Dan Konflik Pertanahan Di Indonesia (Disusun untuk memenuhi tugas semester V mata kuliah Hukum Pertanahan)

IKAHA warna
.
Disusun oleh:
Eko Yusuf Permadi ( 2010.3790)

Dosen Pembimbing :
H. Ainun Rosyid, S.H.

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
INSTITUT KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
                                         TEBUIRENG      
2013 
Mengenal Hak Atas Tanah Dan Konflik Pertanahan Di Indonesia
Di negara-negara yang seluruh kekuasaan atas tanah dan segala apa yang ada di bawah dan di atasnya dimiliki oleh negara secara mutlak, konflik pertanahan tidak akan pernah terjadi, kecuali konflik terhadap hak atas tanah di luar hak milik atas tanah. Di Indonesia, di mana negara dan rakyat memiliki hak yang sama terhadap tanah, konflik pertanahan sering kali terjadi. Bahkan konflik pertanahan di Indonesia pernah menjadi pemicu perlawanan terhadap penjajah.
Dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, ada beberapa kasus peperangan yang dipicu oleh konflik pertanahan, salah satunya adalah perang Dipenogoro (1825-1830 M). Peperangan ini di awali oleh pencaplokan tanah milik Pangeran Dipenogoro oleh VOC (kamar dagang) Belanda untuk dijadikan perkebunan. Sampai sekarang konflik-konflik pertanahan masih sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia dengan beragam aspek pemicunya, diantaranya dapat diklasifikasikan dalam tipologi sengketa tanah sebagai berikut :
ü  Kasus-kasus yang berkerkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain.
ü  Kasus-kasus yang berkerkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform.
ü  Kasus-kasus yang berkerkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan.
ü  Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
ü  Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.[1]
Untuk menghindari konflik atas tanah, setiap warga negara hendaknya mengerti hak-hak atas tanah.
Hak-hak atas tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, “atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Pada dasarnya  hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara  atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, koorporasi, dan badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Menurut Soedikno Mertokusumo[2] wewenang yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu :
·         Wewenang umum. Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk tubuh bumi, air dan ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (pasal 4 ayat 2 UUPA).
·         Wewenang khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
Ø  Hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah ini berasal dari tanah negara, yang meliputi; hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara dan hak pakai atas tanah negara.
Ø  Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yakni hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain yang meliputi hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.[3]
Dari sekian banyak kasus konflik pertanahan, mayoritas bersumber pada hak atas tanah yang bersifat primer. Untuk itu, agar ada relevansinya dengan penelitian ini, ada baiknya perlu dideskripsikan beberapa hak atas tanah yang bersifat primer tersebut. Hak-hak atas tanah tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Hak milik
Dalam pasal 20 UUPA disebutkan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunya orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6, yakni pemilik hak atas tanah tersebut harus mempertimbangkan fungsi sosial tanah. Artinya, pemegang hak milik atas tanah tidak diperkenan memanfaatkan tanah sesuai dengan keinginannya dengan mengabaikan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari pemanfaatan tanah yang dimilikinya terhadap lingkungan sosial.
b.      Hak guna usaha
Hak guna usaha adalah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk kegiatan pertanian, perikanan atau peternakan. Jadi hak guna usaha, menurut UUPA tidak dapat diberikan jika peruntukkannya tidak sesuai dengan apa yang disebutkan dalam undang-undang tersebut. Berkaitan dengan hak guna usaha ini dapat dilihat dengan jelas mulai pasal 28 – 34 UUPA.
c.       Hak guna bangunan
Hak guna bangunan ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Ketentuan mengenai hal ini tertera dalam pasal 35 – 40 UUPA.
d.       Hak pakai
Hak pakai ialah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan  pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA (lihat pasal 41-43).
Bentuk-bentuk Konflik Pertanahan
Dari perbagai konflik pertanahan yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa konflik pertanahan menurut bentuk atau sifatnya dapat diklasifikasikan dalam dua hal. Pertama, konflik vertikal (struktural), yakni konflik pertanahan yang melibatkan antara penguasa dan rakyat. Dalam sejarahnya, konflik semacam ini lebih banyak diakhiri dengan kekerasan dan rakyat berada dalam pihak yang selalu kalah. Kedua, konflik horizontal, yakni konflik pertanahan yang melibatkan antar anggota masyarakat, baik antara satu orang dengan satu orang yang lain, satu orang berhadapan dengan kelompok masyarakat atau antar kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Konflik horizontal, dilihat dari akibatnya sangat berbahaya dan dapat mewujud seperti api dalam sekam yang siap membakar, menimbulkan disharmoni dalam kehidupan masyarakat, rasa sentimentil yang berlebihan, bahkan dapat mewujud menjadi disintegrasi bangsa apabila konflik tersebut dibiarkan bahkan dipelihara.
Di Kota Salatiga, pernah terjadi konflik segitiga atau yang melibatkan pihak ketiga, yaitu konflik tanah HGU Komplek Salib Putih  di Kelurahan Kumpulrejo Kecamatan Argomulyo. Pihak yang berkonflik adalah Pemerintah Kota Salatiga sebagai yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan bagi publik, PT Rumeksa Mekaring Sabda sebagai pemegang hak guna usaha dan Yayasan Universitas Islam Salatiga yang menuntut keadilan untuk diberikan hak pakai dari sebagian luas tanah yang telah bersertifikat hak guna usaha tersebut dari Pemerintah Kota. Konflik yang sempat membuat kota Salatiga menghangat ini telah selesai karena pihak pengugat mencabut gugatannya karena alasan-alasan tertentu.




[1] Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanti. Mediasi Sengketa Tanah. 2008. Kompas: Jakarta. Hal  2
[2] Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. 2007. Jakarta: Kencana. Hal 87-88
[3] Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. 2007. Jakarta: Kencana. Hal : 89
KODE IKLAN BAWAH ARTIKEL
Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal
And so you can download at the link that we provide below. Thank you for visiting may be useful. Amen......

Facebook

Adsense Indonesia

k