Ayat Tentang Kewajiban Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah

KODE IKLAN ATAS ARTIKEL
KODE IKLAN TENGAH ARTIKEL

Ayat Tentang Kewajiban Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah
A.     Surat al-Nisa’ [4]: 59-65





1.        Terjemah Ayat
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. al-Nisa [4]: 59)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. al-Nisa [4]: 60)
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. al-Nisa [4]: 61)
“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".” (QS. al-Nisa [4]: 62)
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. al-Nisa [4]: 63)
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nisa [4]: 64)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisa [4]: 65)
2.        Tafsir Mufradat
a.         أُولِى اْلأَمْرِ: Dari segi bahasa kata أُولِى adalah bentuk jamak dari kata وَلِي yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata اْلأَمْرِ adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, أُولِى اْلأَمْرِ adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
b.         أَلَمْ تَرَ : Susunan redaksi ayat ini menunjukkan kalimat pertanyaan dengan menggunakan alif istifham. Pertanyaan: “Apakah kamu tidak melihat?”, mengandung makna keheranan sekaligus rasa kasihan oleh mereka yang melihat sikap dan perilaku mereka yang dibicarakan di sini. Heran dan kasihan mereka berpaling dari tuntunan Ilahi, serta berhakim kepada Thaghut, padahal mereka mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah SWT.
c.         يَزْعُمُوْنَ: Fi’il mudhari’ jamak mudzakkar ghaib berasal dari kata زَعَمَ - يَزْعُمُ yang berarti mengira, menyangka, mengaku. Fa’ilnya adalah dhamir هُمْ yang ditakdirkan, marja’ dhamirnya kepada kata الَّذِيْنَ (orang-orang).
d.        الطَاغُوْتِ: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas, kata ini digunakan untuk menunjuk kepada segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide sesat, manusia durhaka, atau siapapun yang mengajak kepada kesesatan. Ada lagi yang memahami kata Thaghut dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa Jahiliah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.
e.         تَعَالَوْا: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti tinggi. Bahasa menggambarkan bahwa yang memanggil berada di tempat yang tinggi, karena tempat yang tinggi secara umum dinilai lebih aman dari tempat yang rendah, karena itu panggilan ini selalu mengisyaratkan ajakan menuju kepada suatu yang bersifat positif dan bermanfaat bagi yang dipanggil. Al-Qur'an sering kali menggunakan kata ini untuk mengajak umat manusia sekaligus mengisyaratkan bahwa mengikuti tuntunan Ilahi mengantar manusia menuju ketinggian derajat, baik di dunia maupun di akhirat.
f.          يَصُدُّوْنَ عَنْكَ: Fi’il mudhari’ yang berasal dari kata صَدَّ - يَصُدُّ artinya mencegah, melarang. Jika kata ini dihubungkan dengan harf jarr عَنْ, maka artinya berpaling, menjauhkan diri dari sesuatu.
g.
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti samping. Ini berarti, perintah itu adalah perintah untuk menampakkan sisi samping manusia, bukan menampakkan muka atau wajahnya. Biasanya sikap demikian, mengandung makna meninggalkan yang bersangkutan, dan makna ini kemudian berkembang sehingga ia bermakna tidak bergaul dan berbicara dengan yang ditinggalkannya itu. Ia juga dipahami dalam arti “tinggalkan dan biarkan, jangan jatuhkan sanksi atasnya, atau maafkan dia.”
g.         بَلِيْغًا : Asal kata ini terdiri dari huruf-huruf ba’, lam dan ghain. Pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan.
h.         فَلاَ وَرَبِّكَ : Ulama berbeda pendapat tentang makna dan kedudukan kata laa pada ayat ini. Ada yang memahami kata laa sebagai kata tambahan yang berfungsi menguatkan sumpah, bukan berfungsi atau bermakna menafikan sesuatu, sehingga ia tidak dipahami dalam arti tidak, dan dengan demikian penggalan ayat tersebut berarti demi Tuhanmu.
Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak. Hanya saja menurut penganut paham ini, penafian itu tertuju kepada pandangan kaum munafikin yang dikandung oleh ayat yang lalu, yaitu sikap mereka yang menjadikan thaghut sebagai hakim, serta keengganan mereka mengikuti putusan Nabi SAW. Seakan-akan ayat ini menyatakan “Tidak seperti apa yang mereka katakan bahwa, mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepadamu wahai Muhammad, padahal mereka bertahkim (kembali dalam memutuskan hukum) kepada thaghut.
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman…”

3.        Sabab an-Nuzul Ayat
Surat al-Nisa’ ayat 60-64 menurut riwayat turun tentang seorang laki-laki munafik yang berselisih dengan seorang laki-laki Yahudi, enggan merujuk kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyraf.
Surat al-Nisa’ ayat 65 sebab turunnya terdapat dalam beberapa riwayat, salah satu di antaranya ialah hadis riwayat Abdullah bin Zubair ra.: Bahwa seorang lelaki Anshar bertengkar dengan Zubair di hadapan Rasulullah SAW mengenai saluran air daerah Harrah yang digunakan untuk mengairi pohon kurma. Lelaki Anshar tersebut berkata: Biarkan air itu mengalir! Ternyata Zubair menolak permintaan mereka. Lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Berkatalah beliau kepada Zubair: Alirkanlah wahai Zubair dan alirkan juga air itu kepada tetanggamu! Lelaki tersebut marah seraya berkata: Wahai Rasulullah! Apakah karena Zubair itu anak bibimu? Dia berkeberatan dan menduga Nabi SAW pilih kasih, padahal putusan tersebut lebih berdasarkan win-win solution atau keputusan yang menyenangkan kedua belah pihak. Mendengar komentar lelaki tersebut, berubahlah warna muka Nabi SAW lalu berkata: Wahai Zubair, alirkanlah air itu kemudian tahan agar kembali lagi ke kebun! Lalu Zubair berkata: Demi Allah, aku yakin bahwa ayat ini turun menyinggung percekcokan tadi.

4.        Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan lain-lain. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada ulil amri, menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan lain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat 58 yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat 59 diatas memerintahkan kaum mukminin agar menaati putusan hukum dari siapapun yang berwenang menetapkan hukum.
Selanjutnya pada ayat 60 mengajak Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh sampai batas akhir perhatian, keadaan orang-orang munafik.
Kemudian ayat 61 dan 62 merupakan gambaran tentang sifat buruk yang lain dari orang-orang munafik, yaitu berpaling dari hukum yang ditetapkan Rasul dan sifat mereka ketika mereka ditimpa musibah.
Pada ayat 63 membantah dalih dan keterangan mereka yang diuraikan oleh ayat yang sebelumnya, sambil memberi petunjuk bagaimana menghadapinya.
Setelah pada ayat 64 dijelaskan bahwa Rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati, dan bahwa
pengabulan taubat mereka yang mencari hakim selain Allah dan Rasul-Nya bersyarat dengan pemaafan Nabi dan permohonan beliau kepada Allah agar mereka diampuni, maka pada ayat 65 dengan bersumpah menggunakan nama Tuhan yang memelihara secara khusus Nabi Muhammad SAW, ayat ini menegaskan satu hakikat menyangkut makna ketaatan kepada Rasul, yaitu bahwa jika demikian, fungsi Rasul yang tidak diutus kecuali untuk ditaati.
5.         Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Kalau diamati ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ditemukan dua redaksi yang berbeda. Sekali perintah taat kepada Allah dirangkaikan dengan taat kepada Rasul, tanpa mengulangi kata “taatilah” seperti pada QS. Al ‘Imran [3]: 35, dan di kali lain – seperti pada ayat surat al-Nisa’[4]: 59 – kata “taatilah” diulangi, masing-masing sekali ketika memerintahkan taat kepada Allah dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rasul.
Para pakar al-Qur'an menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya dugabung dengan hanya menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah SWT, baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul SAW di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah SWT, bukan yang beliau perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. Al-Nisa’ [4]: 59 di atas, maka di situ Rasul SAW memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur'an. Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata “taatilah” karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT atau Rasul SAW.
Perintah taat kepada Rasul SAW adalah perintah tanpa syarat, dan ini menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru, tidak ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah SWT, karena jika ada, maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan perintah taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.  Perlu dicatat bahwa kata kata al-amr berbentuk makrifat atau definite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Di sisi lain, bentuk jamak pada kata uli dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni satu badan atau lembaga yang berwenang menetapkan dan membatalkan sesuatu – katakanlah – misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan undang-undang dan hukum, atau yang dinamai (أَهْلُ اْلحِلِّ وَاْلعَقْدِ). Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat 59 ini mengandung informasi tentang dalil-dalil hukum syari’at , yaitu: 1) al-Qur'an, dan 2) sunnah yang ditunjuk oleh perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul; 3) Ijma’ atau kesepakatan, yang diisyaratkan oleh kata uli al-amri minkum; dan 4) Analogi atau qiyas yang dipahami dari perintah mengembalikan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, dan ini tentunya dilakukan dengan berijtihad.
Ayat ini juga mengisyaratkan berbagai lembaga yang hendaknya diwujudkan umat Islam untuk menangani urusan mereka, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Sementara ulama memahami bahwa pesan utama ayat ini adalah menekankan perlunya mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan rasul-Nya, khususnya jika muncul perbedaan pendapat. Ini telihat dengan jelas pada pernyataan, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), dan ayat-ayat sesudahnya yang mengecam mereka yang ingin mencari sumber hukum selain Rasul SAW, lalu penegasan bahwa Rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati.
Pada ayat 60 surat al-Nisa’ konteks yang ingin ditekankan adalah kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada apa yang diturunkan Allah SWT, bukan kepada orang tertentu siapapun dia. Perintah yang terdapat dalam ayat 63 dapat dipahami dalam arti meninggalkan mereka dengan memaafkannya, atau meninggalkan mereka tanpa merasa sedih dengan kelakuan mereka, atau jangan hiraukan keengganan dan kedurhakaan mereka, karena Allah yang akan membalas mereka.
Pada ayat 65 surat al-Nisa’, perlu dicatat, bahwa ketika Allah SWT menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa keberatan, maka dalam ketetapan Allah itu tersirat kewajiban Rasul (dan lebih-lebih para hakim sesudah beliau) untuk memperhatikan rasa keadilan, sehingga ketetapan mereka dapat diterima baik. Di sisi lain, disadari bahwa hukum adalah inti peradaban suatu bangsa yang mencerminkan jiwa bangsa tersebut. Karena itu pula, maka pemahaman tentang budaya bangsa amat diperlukan dalam memahami dan menetapkan hukum-hukum, karena hanya dengan demikian keadilan hukum dapat dirasakan masyarakat.

Dan seterusnya Anda bisa download di link yang kami berikan dibawah ini. Terima kasih atas kunjungannya semoga bermanfaat. Amin...... Download Ayat Tentang Kewajiban Menegakkan Hukum Allah
KODE IKLAN BAWAH ARTIKEL
Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal
And so you can download at the link that we provide below. Thank you for visiting may be useful. Amen......

Facebook

Adsense Indonesia

k